Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Kamis, 20 Oktober 2011

BECAUSE IT’S THERE!

Eastern Col, 1922.

Para pendaki menunduk pasrah. Sementara para Sherpa terus menggumamkan doa. Beberapa teman mereka tersapu longsoran salju dan ekspedisi dibatalkan. Semua bersiap kembali ke peradaban.

Seorang pendaki, untuk terakhir kali menatap gunung di depannya dengan mata yang memancarkan pandangan aneh ; geram, mungkin juga dendam. Setahun sebelumnya, ia berhasil menemukan jalan menuju puncak lewat punggung utara. Saat itu, beberapa Sherpa juga tewas tersapu salju. Sekarang, gunung itu kembali mengusirnya. Saat itulah, ia bersumpah dalam hati, “Aku akan menjadi orang yang pertama berdiri di puncaknya, atau mati dalam usahaku!” Ia lantas membalikan tubuhnya dan melangkah pergi.

Gunung dibelakang punggungnya tetap berdiri angkuh. Seolah tak peduli. Puncaknya yang tersaput awan seolah mengejek. Orang-orang China menyebut gunung itu Chomolungma, seperti orang-orang Tibet memanggilnya. Dunia mengenalnya dengan nama Everest. Puncak dunia!

Pendaki itu, George Leigh Mallory, lantas mengundang perhatian dunia. Kegagalan dua kali di gunung yang sama ; gunung tertinggi yang sudah setengah abad ditemukan. Para jurnalis berebut mendapat pernyataan. Dikenal sebagai seorang sedikit eksentrik, Mallory dengan cepat menjadi terganggu. Terutama ketika kerap ia dicecar soal alasannya mendaki Everest. “Because it’s there!” teriaknya kesal. “Karena ada gunung di situ!”

Dua tahun kemudian, Mallory kembali. Saat waktunya summit attack, ia mengambil keputusan aneh ; memilih Andrew Irvine, pendaki terkuat sekaligus paling tidak berpengalaman sebagai climbing partnernya. Mereka mendaki dengan pasti dan terakhir terlihat di ketinggian 8.400-an meter dari permukaan laut. Edward Nortonlah saksinya. Ia sanggup mendaki sampai ketinggian 8.570 meter dari permukaan laut tanpa tabung oksigen sebelum menyerah. Saat perjalanan turun mereka bertemu. Setelah itu, tak ada kabar lagi dan misteri terbesar pendakian gunung pun dimulai : bagaimana mereka mati? Apakah mereka sampai ke puncak? Tubuh Mallory baru ditemukan pada 1999 setelah National Geographic mengadakan ekspedisi untuk menjawab teka-teki itu. Ternyata Mallory dan Irvine, tidak pernah sampai ke puncak.

Mengapa mendaki gunung?

Mengapa? Tidakkah kota sudah menyediakan segalanya?

Tidak juga!

Bagi Anthoinne de Ville, mendaki gunung adalah bukti kesetiannya pada Raja, Karel VII. Sang raja – seperti kebanyakan pemimpin dewasa ini, punya keinginan aneh ; membuat es krim dari salju Mont Aiguille, gunung di kawasan Vercors Massif yang tingginya 2.097 m.dpl. Sementara bagi Profesor Horace-Benedict de Saussure, Mont Blanc adalah kecintaannya. Ia amat ingin bisa melakukan penelitian di puncak yang tingginya 4.807 m.dpl. Jadi, ia membuat sayembara ; siapa yang bisa menemukan jalur ke puncak untuk didaki olehnya, sejumlah uang disiapkan. Tahunnya tercatat 1760. Tak ada yang bersedia. Saat itu, konon, masih ada naga di puncak-puncak gunung.

Baru tahun 1786, setelah beberapa percobaan gagal, puncak Mont Blanc, akhirnya berhasil digapai manusia. Mereka adalah Dr. Michel Gabriel Paccard dan seorang pemandu gunung, Jacquet Balmat. Ini pun bukan tanpa kontroversi. Paccard dipuja setengah mati. Padahal, sebagian besar orang percaya, Balmatlah pahlawan sesungguhnya. De Saussure sendiri berhasil mendaki Mount Blanc setahun kemudian.

Terpesona oleh keagungan dan kemashyuran puncak-puncak Eropa, Edward Whymper – seorang tukang kayu muda ambisius dari Inggris yang bermimpi menjadi penjelajah Artik, mendatangi Matterhorn di Alpen Pennina, Swiss. Ia memandang Matterhorn yang tingginya 4.476 m.dpl sebagai peluang untuk mencetak tinta sejarah. Ia menggandeng seorang pendaki lokal berpengalaman JA Carrel. Di bagian akhir, Carrel diam-diam mengikat janji dengan tim pendaki Italia yang bermaksud sama. Marah karena merasa dikhianati, Whymper bergabung dengan Lord Francis Douglas, bangsawan kaya raya yang bermaksud sama. Mereka lantas menerima ajakan bergabung dari dua pendaki amatir, Douglas Hadow dan Charles Hudson. Bersama mereka, ada penunjuk jalan kawakan dari Chamonix, Michel Croz dan dua pembawa barang, Peter Tougwalder dan putranya Peter Tougwalder Jr.

Matterhorn berbaik hati. Puncak berhasil didaki. Whymper dan Francis Douglas bersuka cita. Saat perjalanan turun, Hadow terpeleset. Ia menimpa Croz yang menyeret Francis Douglas dan Hudson. Whymper dan kedua Tougwalder berjuang sekuat tenaga namun tali serat alam yang mereka pakai ternyata tali tua yang tak lagi sanggup menahan beban berat. Keempatnya pun terseret gravitasi, terhempas ribuan meter ke kaki gunung. Dan sebelas tahun masa keemasan pendakian gunung pun berakhir. Ratu Victoria bahkan melarang kegiatan mendaki gunung di Inggris. Baginya, mendaki gunung adalah “Kegiatan orang sinting di suatu tempat yang kejam!”

Tapi, tidak ada yang bisa menghentikan semua itu. Tidak ada. Satu demi satu, puncak-puncak tempat yang kejam itu didaki.

Jadi, sekali lagi, mengapa mendaki gunung?

Kebanyakan berpikir soal ketinggian. Namun ini sama sekali tidak benar. Sebab, setelah Mount Everest, gunung yang membunuh Mallory akhirnya didaki Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 1953, pendakian gunung tetap tidak berhenti. Rupanya, alasan mendaki gunung ternyata lebih dari sekedar kesetiaan de Ville, kecintaan de Saussure, kemasyhuran Whymper atau ambisi dan obsesi pribadi Mallory. Lebih dari itu.

Mendaki gunung adalah soal kesadaran mencari jawaban.

Pertanyaannya (lagi) adalah ; mencari jawaban apa?

Di titik inilah mendaki gunung menjadi soal pribadi. Terlalu pribadi, malah. Terlalu pribadi karena jawaban soal apa dan siapa memang hanya bisa dijawab seorang manusia oleh keputusan dan tindakannya sendiri. Bahkan ketika konsekuensinya adalah bahaya. Pertanyaan itu juga terlalu kuat karena akhirnya keselamatan menjadi hal yang diletakan pada urutan kesekian. Pertanyaan-pertanyaan
pribadi ini, bila terjawab – Anda yang tidak pernah mendaki gunung, akan sulit memahaminya – melahirkan kepuasan luar biasa. “Mountaineering is better than sex!” kata seorang pendaki kawakan berusaha membandingkan.

Ini memang selalu bisa diperdebatkan. Namun, jangan memperdebatkan bahaya dan keselamatan karena para pendaki gunung akan ganti mencibir. Bahaya ada dimana-mana. Jadi, keselamatan itu sebuah konsep yang amat rapuh. Bahaya mengintai setiap hari dan itu berarti keselamatan dipertaruhkan tiap hari pula. Jadi bahaya mendaki gunung tidak ada bedanya dengan bahaya melaju kencang 200 kilometer per jam di jalan raya dengan Ferrari Testarosa.

Pendaki gunung menjalani hidupnya bukan karena ia tak peduli pada bahaya atau keselamatan. Mereka hanya tidak ingin terkukung pada ketakutan dan merelakan hidupnya untuk melakukan hal-hal biasa. “Hidup,” ujar Budi Laksmono, pengarung jeram Mapala UI yang tewas di Sungai Alas, “… harus lebih dari sekedarnya.” Lebih dari sekedar lahir, tumbuh, sekolah, bekerja, menikah, bekerja, memiliki anak, bekerja, pensiun lalu mati. Tidak, ujar para pendaki gunung dan petualang alam bebas lain. Hidup terlalu luar biasa. Hidup tidak boleh hanya seperti itu!

Apakah hidup secara biasa salah?

Tentu saja tidak! Ini, sekali lagi, soal pilihan. Namun, banyak pepatah dengan jelas mengatakan betapa hidup sebenarnya adalah sebuah pendakian yang utama ; mereka yang enggan mendaki, akan berada di dasar lubang selamanya. Jadi, mendaki gunung mungkin sebenarnya sebuah cermin besar bagi pelakunya untuk melakoni hidup dengan lebih sederhana dan rendah hati. Atau mungkin juga hanya sebuah pilihan agar hidup sedikit lebih menarik. Untuk yang terakhir itu, Anda punya banyak pilihan.

Akhirnya, Mallory bisa jadi benar. Because it’s there!

Jawaban itu bisa cukup. Bisa juga tidak.

Yang pasti, jika terbukti puncak-puncak dunia satu demi satu terdaki, semuanya adalah bukti soal keberanian, kegigihan dan ketabahan manusia.




The mountains tell you, quite ruthlessly, who you are, and what you are.
Mountaineering is a game where you can’t cheat…
(Gunung mengajarkan Anda, dengan cara yang seringkali brutal, siapa Anda dan mahluk apakah Anda. Mendaki gunung adalah permainan dimana Anda tidak bisa curang…)


Reinhold Messner

(dari Buku Panduan CADWIPALA SMA Negeri 42 Jakarta)

1 komentar:

  1. Setidaknya dengan mendaki menunjukan bahwa gunung dibuat tidak percuma ... hehehe ...

    BalasHapus