Anda boleh protes, tapi itulah kenyataannya ;
sampah itu soal kecil!
Mungkin sudah ratusan kali, pendaki gunung
seperti Anda melihat langsung atau melihat foto-foto sampah yang bertebaran di
sepanjang jalan setapak gunung. Anda mungkin miris, sedih, kesal atau malah
marah. Pikiran Anda lantas membentuk pola pikir yang mengarah pada sikap,
perilaku dan latarbelakang negatif pelaku-pelakunya. Setelah itu, Anda akan
menyusun pertanyaan soal bagaimana mengatasi masalah-masalah itu.
Ada api, ada asap. Ada manusia, ada sampah!
Jadi, kalau hanya berpikir soal bagaimana
agar tidak ada sampah di gunung, ya mudah ; jangan izinkan satu orang pun
manusia mendakinya! Beres kan? Dan, eits, jangan buru-buru mengatai saya bloon.
Sebab, tanpa Anda katai pun, saya sudah tahu saya bloon. Tapi akuilah dulu ;
kita seringkali berpikir kurang jernih terhadap suatu masalah. Kita kerap
berpikir soal masalah pada ujungnya. Bukan pangkalnya. Padahal, memetakan
pangkal masalah adalah cara paling mudah menyelesaikan masalah. Termasuk
masalah sampah di gunung.
Ini contohnya.
Beberapa tahun lalu, saya mendaki sebuah
gunung di luar negeri, di sebuah negara maju (tidak usah saya sebutkan gunung
atau negaranya ya... tidak penting!). Sebagai jurnalis, saya penasaran
bagaimana gunung yang masuk wilayah Taman Nasional itu bisa sangat bersih dan
terpelihara. Jadilah saya bertanya ini itu pada Kepala Taman Nasional-nya.
Apakah gunung dan Taman Nasional ini buka
sepanjang tahun? Kapan biasanya dilakukan recovery? Si Kepala Taman Nasional
memandang heran. Recovery, ujarnya balas bertanya. Nggak ada tuuuh… Apakah para
pendaki gunung di sini getol melakukan kegiatan bersih gunung, tanya saya lagi.
Si kepala Taman Nasional memandang makin heran. Bersih gunung? Apaan tuuuh… Saya
penasaran. Apakah para pendaki gunung di sini semua pencinta alam yang
kesadarannya soal kelestarian alam sangat tinggi, cecar saya. Si kepala
Nasional lagi-lagi memandang heran. Pencinta alam? Apaan siiih…
Jadi, bagaimana gunung dan Taman Nasional ini
bisa begitu bersih, terpelihara dan indah?
Sederhana, jawabnya. Ini soal reward dan
punishment ; soal penghargaan dan hukuman!
Para Rangers, Jagawana atau apalah
sebutannya, sadar betul bahwa mengurus sebuah gunung dan Taman Nasional itu
pekerjaan yang luar biasa berat. Jangankan dibuka untuk umum. Tidak dibuka
untuk umum pun, mengurus gunung dan Taman Nasional membutuhkan tenaga,
keahlian, strategi dan biaya yang tidak sedikit. Jadi bayangkan jika gunung dan
Taman Nasional itu terbuka dan bisa dimasuki oleh masyarakat umum. Soal
manusia, sebenarnya soal mudah. Manusia itu mahluk yang mencari dan butuh
pilihan. Ambil contoh ; berberat-berat membawa tenda atau kedinginan di puncak
gunung? Pendaki yang pintar pasti memilih membawa tenda. Pendaki yang bodoh,
memilih kedinginan. Di titik ini, ujar si Kepala Taman Nasional, kami katakan
pada pendaki yang memilih kedinginan itu ; “Get your butt out of here! We don’t
need another morron!”
Beres kan?
Tentu saja, teknisnya tidak seperti itu.
Memangnya Opera Van Java!
Protokol dan prosedur disusun secara apik
untuk mendeteksi masalah perlengkapan bahkan masalah kesiapan mental dan fisik
pendaki-pendaki itu. Bukan hal aneh di kantor Taman Nasional di negara maju,
terdapat mesin pendeteksi kandungan alkohol dalam tubuh! Bukan hal aneh juga
kalau di kantor-kantor itu, tersedia selembaran gratis berisi informasi
peralatan, peta lengkap sampai teknik survival praktis! Bahkan, di beberapa
kesempatan, petugas Taman Nasional berhak mengadakan tes keterampilan. Biasanya
tertulis. Di lembar tes itu disusun pertanyaan sederhana seperti bagaimana
mendirikan tenda yang benar. Jika ada pendaki yang tidak bisa menjawab
pertanyaan ini, para Rangers pasti menyalakan lampu tanda bahaya! Mereka
langsung memberi latihan singkat dan bertanya apa lagi yang pendaki itu tidak
ketahui soal kegiatan yang akan mereka jalani. Tak hanya itu, para Rangers juga mengawasi pendaki gunung ini dengan ketat, memonitornya dengan teratur. Jika sesuatu terjadi, tindakan bisa dilakukan dengan cepat karena masalahnya sudah diketahui sejak awal.
Begitu juga soal sampah.
Beberapa Taman Nasional sangat ketat
menerapkan aturan soal ini. Kebanyakan sampah yang dibawa pendaki gunung atau
pengunjung Taman Nasional biasanya sampah berupa pembungkus makanan. Selebihnya
adalah sampah yang berhubungan dengan kebutuhan lain seperti kebersihan atau
peralatan.
Tidak seperti Taman Nasional di Indonesia
yang memperbolehkan pengunjung untuk membawa hampir apapun ke area konservasi, petugas
Taman Nasional di negara maju amat teliti. Makanan diteliti dan
ditimbang. Bukan jumlahnya yang dipermasalahkan tapi pembungkusnya. Makanan
siap saji yang memiliki kemasan berlapis-lapis jangan harap bisa masuk.
Pilihannya adalah ditinggal atau bungkusnya dikurangi. Ambil contoh mie instant
yang dibungkus plastik dengan bumbu-bumbu yang juga dikemas. Jika tetap ingin
dibawa, maka mie atau bumbunya harus dikeluarkan dan kemasannya dibuang. Ada beberapa Taman Nasional yang
menerapkan peraturan berat maksimal bahan plastik yang boleh dibawa ke kawasan.
Peralatan pun begitu. Ditimbang dan dicatat.
Gas kaleng untuk memasak dicatat jumlahnya. Begitu juga kebutuhan kebersihan
seperti tissue atau pembalut. Membawa satu pak pembalut untuk kunjungan 24 jam
pasti membuat para Rangers mengerutkan kening! Begitu juga jika ada pengunjung
yang nekat membawa bergulung-gulung tissue.
Para pengunjung juga diwajibkan membawa
kembali sampah mereka di dalam plastic-bag yang disiapkan Taman Nasional. Jika
merepotkan, mereka boleh meninggalkannya di pos-pos pengumpulan sampah yang
sudah disiapkan. Tapi mereka wajib melaporkannya. Jika tidak, jangan harap bisa
meninggalkan Taman Nasional. Para Rangers akan menggiring pengunjung ke ruang
tahanan sementara kasus pelanggaran mereka diproses dan denda dijatuhkan.
Memang tidak seperti ruang tahanan kriminal. Tapi tetap saja memberi efek jera
dan malu. Apalagi, hukumannya tidak hanya sampai di situ. Nama mereka dicatat
dan disebarkan ke Taman Nasional lain. Jadi Taman Nasional lain akan bersiap
ketika si pengunjung nakal itu datang. Jika sudah berkali-kali, Rangers bahkan
berhak menolak kedatangan si pengunjung atau memperkarakannya secara hukum.
Soal denda juga tidak main-main. Ada beberapa
Taman Nasional yang menerapkan aturan sita. Artinya, jika si pengunjung tidak
memiliki uang untuk membayar denda, barang-barang mereka langsung disita.
Umumnya, Taman Nasional itu bekerja sama dengan badan resmi penggadaian. Semacam
Perum Penggadaian di Indonesia. Si pengunjung diperbolehkan pulang dan diberi waktu untuk membayar denda
dan menebus barang-barangnya. Jika melewati tenggat waktu, badan penggadaian akan melelangnya,
menyerahkan jumlah uang hasil lelang sesuai dengan denda yang dijatuhkan dan
sisanya digunakan untuk kebutuhan sosial atau konservasi. Jadi, jangan harap
Anda bisa lolos dengan memasang raut wajah memelas sambil berkata, “Yaaa bapak,
saya nggak punya uang nih!” - sementara di punggung Anda, tersampir ransel
berharga ratusan ribu! Di sana, para Rangers akan membalas rengekan Anda dengan
kalimat, “Please deh! Basi tau!
Lho, ujar saya sambil melongo, sadis amat
sih? Apakah peraturan seperti itu tidak membuat para pengunjung atau pendaki
gunung takut? Si Kepala Taman Nasional menggeleng yakin. Tidak ada peraturan
yang cukup berat untuk diikuti oleh pendaki gunung yang benar-benar mencintai
alam!
Dan memang, bukan hanya soal pelanggaran saja
yang disorot. Soal penghargaan untuk pengunjung yang baik pun amat
diperhatikan. Jika Anda melaporkan sebuah kerusakan atau melakukan sesuatu
melebihi kewajiban, Anda juga diganjar hadiah. Biasanya cuma sebuah pin
sederhana, setangan (slayer) atau sertifikat. Nama Anda pun dicatat dalam
daftar pengunjung yang baik. Keuntungannya, Anda bisa mendapat prioritas sebagai pengunjung yang jumlahnya memang selalu dibatasi. Kelihatannya sepele, namun ternyata mampu
membangkitkan kesadaran dan kebanggaan memiliki dan menjaga.
Tentu saja semua ini butuh biaya. Dan biaya
itu datang dari retribusi pengunjung. Jadi jangan langsung mengangkat kapak
perang kalau Taman Nasional mengumumkan biaya retribusi baru yang lebih mahal.
Sebab percayalah, harga kelestarian dan kebersihan itu memang mahal. Jangan
lupa, Taman Nasional yang memiliki gunung, misalnya, juga harus menyediakan
dana untuk kondisi darurat jika ada pengunjung atau pendaki yang mengalami
kecelakaan. Jadi, biaya keamanan juga tinggi. Yang perlu dilakukan adalah
memastikan bahwa biaya-biaya itu digunakan untuk tujuan sebenarnya. Tentu saja
ada banyak faktor yang membuat semua itu bisa terlaksana. Dari sisi para
Jagawana, tentu saja kesejahteraan dan perlindungan yang baik ; gaji tinggi,
beragam asuransi mereka dan keluarganya dan kepastian karier. Di sisi
masyarakat jangan lupakan tingkat pendidikan dan latar belakang sosial budaya.
Ketika saya ceritakan masalah-masalah –
terutama sampah, yang sering dihadapi di Taman Nasional kita, si Kepala Taman
Nasional yang saya wawancara itu mengangguk-angguk. “Masalah sampah itu mudah,”
katanya serius. “Masalah yang lebih sulit adalah kemauan!”
Nah ini dia! Maukah kita? Tentu saja! Bisakah
kita! Ya bisa dong! Lha semua elemennya sudah ada kok! Apa sih yang tidak ada
di Indonesia? Koruptor yang jadi selebriti aja ada kok!
Salam lestari bro
BalasHapussebenarnya memang gunung itu bukan tempat sampah
Betul bro! Thanks for visiting! :)
Hapushttp://www.facebook.com/groups/trashbagcom/
Hapussobat hijau say :
BalasHapusmantab bener pencerahannya gan, like this so much, keep posting :)
I'm glad you like it sob! Siap! :)
Hapushehehe, indonesia lengkap banget ya sob ;)
BalasHapusHehehe... lengkap, kap, kaaap... :)
Hapusijin share yo Pak
BalasHapusnamanya juga indonesia, enggak gunung enggak kota, dianggap tempat sampah terbuka semua ckckck kesadaran masyarakatnya kurang. liat aja car free night di jakarta kemaren. sepanjang jalannya sampah semua!
BalasHapusIjin berbagi yaa
BalasHapus