Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Senin, 16 Januari 2012

SAMPAH DI GUNUNG? SOAL KECIL!

Anda boleh protes, tapi itulah kenyataannya ; sampah itu soal kecil!

Mungkin sudah ratusan kali, pendaki gunung seperti Anda melihat langsung atau melihat foto-foto sampah yang bertebaran di sepanjang jalan setapak gunung. Anda mungkin miris, sedih, kesal atau malah marah. Pikiran Anda lantas membentuk pola pikir yang mengarah pada sikap, perilaku dan latarbelakang negatif pelaku-pelakunya. Setelah itu, Anda akan menyusun pertanyaan soal bagaimana mengatasi masalah-masalah itu.

Ada api, ada asap. Ada manusia, ada sampah!

Jadi, kalau hanya berpikir soal bagaimana agar tidak ada sampah di gunung, ya mudah ; jangan izinkan satu orang pun manusia mendakinya! Beres kan? Dan, eits, jangan buru-buru mengatai saya bloon. Sebab, tanpa Anda katai pun, saya sudah tahu saya bloon. Tapi akuilah dulu ; kita seringkali berpikir kurang jernih terhadap suatu masalah. Kita kerap berpikir soal masalah pada ujungnya. Bukan pangkalnya. Padahal, memetakan pangkal masalah adalah cara paling mudah menyelesaikan masalah. Termasuk masalah sampah di gunung.

Ini contohnya.

Beberapa tahun lalu, saya mendaki sebuah gunung di luar negeri, di sebuah negara maju (tidak usah saya sebutkan gunung atau negaranya ya... tidak penting!). Sebagai jurnalis, saya penasaran bagaimana gunung yang masuk wilayah Taman Nasional itu bisa sangat bersih dan terpelihara. Jadilah saya bertanya ini itu pada Kepala Taman Nasional-nya.

Apakah gunung dan Taman Nasional ini buka sepanjang tahun? Kapan biasanya dilakukan recovery? Si Kepala Taman Nasional memandang heran. Recovery, ujarnya balas bertanya. Nggak ada tuuuh… Apakah para pendaki gunung di sini getol melakukan kegiatan bersih gunung, tanya saya lagi. Si kepala Taman Nasional memandang makin heran. Bersih gunung? Apaan tuuuh… Saya penasaran. Apakah para pendaki gunung di sini semua pencinta alam yang kesadarannya soal kelestarian alam sangat tinggi, cecar saya. Si kepala Nasional lagi-lagi memandang heran. Pencinta alam? Apaan siiih…

Jadi, bagaimana gunung dan Taman Nasional ini bisa begitu bersih, terpelihara dan indah?

Sederhana, jawabnya. Ini soal reward dan punishment ; soal penghargaan dan hukuman!

Para Rangers, Jagawana atau apalah sebutannya, sadar betul bahwa mengurus sebuah gunung dan Taman Nasional itu pekerjaan yang luar biasa berat. Jangankan dibuka untuk umum. Tidak dibuka untuk umum pun, mengurus gunung dan Taman Nasional membutuhkan tenaga, keahlian, strategi dan biaya yang tidak sedikit. Jadi bayangkan jika gunung dan Taman Nasional itu terbuka dan bisa dimasuki oleh masyarakat umum. Soal manusia, sebenarnya soal mudah. Manusia itu mahluk yang mencari dan butuh pilihan. Ambil contoh ; berberat-berat membawa tenda atau kedinginan di puncak gunung? Pendaki yang pintar pasti memilih membawa tenda. Pendaki yang bodoh, memilih kedinginan. Di titik ini, ujar si Kepala Taman Nasional, kami katakan pada pendaki yang memilih kedinginan itu ; “Get your butt out of here! We don’t need another morron!”

Beres kan?

Tentu saja, teknisnya tidak seperti itu. Memangnya Opera Van Java!

Protokol dan prosedur disusun secara apik untuk mendeteksi masalah perlengkapan bahkan masalah kesiapan mental dan fisik pendaki-pendaki itu. Bukan hal aneh di kantor Taman Nasional di negara maju, terdapat mesin pendeteksi kandungan alkohol dalam tubuh! Bukan hal aneh juga kalau di kantor-kantor itu, tersedia selembaran gratis berisi informasi peralatan, peta lengkap sampai teknik survival praktis! Bahkan, di beberapa kesempatan, petugas Taman Nasional berhak mengadakan tes keterampilan. Biasanya tertulis. Di lembar tes itu disusun pertanyaan sederhana seperti bagaimana mendirikan tenda yang benar. Jika ada pendaki yang tidak bisa menjawab pertanyaan ini, para Rangers pasti menyalakan lampu tanda bahaya! Mereka langsung memberi latihan singkat dan bertanya apa lagi yang pendaki itu tidak ketahui soal kegiatan yang akan mereka jalani. Tak hanya itu, para Rangers juga mengawasi pendaki gunung ini dengan ketat, memonitornya dengan teratur. Jika sesuatu terjadi, tindakan bisa dilakukan dengan cepat karena masalahnya sudah diketahui sejak awal. 

Begitu juga soal sampah.

Beberapa Taman Nasional sangat ketat menerapkan aturan soal ini. Kebanyakan sampah yang dibawa pendaki gunung atau pengunjung Taman Nasional biasanya sampah berupa pembungkus makanan. Selebihnya adalah sampah yang berhubungan dengan kebutuhan lain seperti kebersihan atau peralatan.

     Mendaki tanpa sampah di Cradle Mountain, Tasmania

Tidak seperti Taman Nasional di Indonesia yang memperbolehkan pengunjung untuk membawa hampir apapun ke area konservasi, petugas Taman Nasional di negara maju amat teliti. Makanan diteliti dan ditimbang. Bukan jumlahnya yang dipermasalahkan tapi pembungkusnya. Makanan siap saji yang memiliki kemasan berlapis-lapis jangan harap bisa masuk. Pilihannya adalah ditinggal atau bungkusnya dikurangi. Ambil contoh mie instant yang dibungkus plastik dengan bumbu-bumbu yang juga dikemas. Jika tetap ingin dibawa, maka mie atau bumbunya harus dikeluarkan dan kemasannya dibuang. Ada beberapa Taman Nasional yang menerapkan peraturan berat maksimal bahan plastik yang boleh dibawa ke kawasan.

Peralatan pun begitu. Ditimbang dan dicatat. Gas kaleng untuk memasak dicatat jumlahnya. Begitu juga kebutuhan kebersihan seperti tissue atau pembalut. Membawa satu pak pembalut untuk kunjungan 24 jam pasti membuat para Rangers mengerutkan kening! Begitu juga jika ada pengunjung yang nekat membawa bergulung-gulung tissue.

Para pengunjung juga diwajibkan membawa kembali sampah mereka di dalam plastic-bag yang disiapkan Taman Nasional. Jika merepotkan, mereka boleh meninggalkannya di pos-pos pengumpulan sampah yang sudah disiapkan. Tapi mereka wajib melaporkannya. Jika tidak, jangan harap bisa meninggalkan Taman Nasional. Para Rangers akan menggiring pengunjung ke ruang tahanan sementara kasus pelanggaran mereka diproses dan denda dijatuhkan. Memang tidak seperti ruang tahanan kriminal. Tapi tetap saja memberi efek jera dan malu. Apalagi, hukumannya tidak hanya sampai di situ. Nama mereka dicatat dan disebarkan ke Taman Nasional lain. Jadi Taman Nasional lain akan bersiap ketika si pengunjung nakal itu datang. Jika sudah berkali-kali, Rangers bahkan berhak menolak kedatangan si pengunjung atau memperkarakannya secara hukum.

Soal denda juga tidak main-main. Ada beberapa Taman Nasional yang menerapkan aturan sita. Artinya, jika si pengunjung tidak memiliki uang untuk membayar denda, barang-barang mereka langsung disita. Umumnya, Taman Nasional itu bekerja sama dengan badan resmi penggadaian. Semacam Perum Penggadaian di Indonesia. Si pengunjung diperbolehkan pulang dan diberi waktu untuk membayar denda dan menebus barang-barangnya. Jika melewati tenggat waktu, badan penggadaian akan melelangnya, menyerahkan jumlah uang hasil lelang sesuai dengan denda yang dijatuhkan dan sisanya digunakan untuk kebutuhan sosial atau konservasi. Jadi, jangan harap Anda bisa lolos dengan memasang raut wajah memelas sambil berkata, “Yaaa bapak, saya nggak punya uang nih!” - sementara di punggung Anda, tersampir ransel berharga ratusan ribu! Di sana, para Rangers akan membalas rengekan Anda dengan kalimat, “Please deh! Basi tau!

Lho, ujar saya sambil melongo, sadis amat sih? Apakah peraturan seperti itu tidak membuat para pengunjung atau pendaki gunung takut? Si Kepala Taman Nasional menggeleng yakin. Tidak ada peraturan yang cukup berat untuk diikuti oleh pendaki gunung yang benar-benar mencintai alam!

Dan memang, bukan hanya soal pelanggaran saja yang disorot. Soal penghargaan untuk pengunjung yang baik pun amat diperhatikan. Jika Anda melaporkan sebuah kerusakan atau melakukan sesuatu melebihi kewajiban, Anda juga diganjar hadiah. Biasanya cuma sebuah pin sederhana, setangan (slayer) atau sertifikat. Nama Anda pun dicatat dalam daftar pengunjung yang baik. Keuntungannya, Anda bisa mendapat prioritas sebagai pengunjung yang jumlahnya memang selalu dibatasi. Kelihatannya sepele, namun ternyata mampu membangkitkan kesadaran dan kebanggaan memiliki dan menjaga.

Tentu saja semua ini butuh biaya. Dan biaya itu datang dari retribusi pengunjung. Jadi jangan langsung mengangkat kapak perang kalau Taman Nasional mengumumkan biaya retribusi baru yang lebih mahal. Sebab percayalah, harga kelestarian dan kebersihan itu memang mahal. Jangan lupa, Taman Nasional yang memiliki gunung, misalnya, juga harus menyediakan dana untuk kondisi darurat jika ada pengunjung atau pendaki yang mengalami kecelakaan. Jadi, biaya keamanan juga tinggi. Yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa biaya-biaya itu digunakan untuk tujuan sebenarnya. Tentu saja ada banyak faktor yang membuat semua itu bisa terlaksana. Dari sisi para Jagawana, tentu saja kesejahteraan dan perlindungan yang baik ; gaji tinggi, beragam asuransi mereka dan keluarganya dan kepastian karier. Di sisi masyarakat jangan lupakan tingkat pendidikan dan latar belakang sosial budaya.      

Ketika saya ceritakan masalah-masalah – terutama sampah, yang sering dihadapi di Taman Nasional kita, si Kepala Taman Nasional yang saya wawancara itu mengangguk-angguk. “Masalah sampah itu mudah,” katanya serius. “Masalah yang lebih sulit adalah kemauan!”

Nah ini dia! Maukah kita? Tentu saja! Bisakah kita! Ya bisa dong! Lha semua elemennya sudah ada kok! Apa sih yang tidak ada di Indonesia? Koruptor yang jadi selebriti aja ada kok!

10 komentar:

  1. Salam lestari bro
    sebenarnya memang gunung itu bukan tempat sampah

    BalasHapus
  2. sobat hijau say :

    mantab bener pencerahannya gan, like this so much, keep posting :)

    BalasHapus
  3. hehehe, indonesia lengkap banget ya sob ;)

    BalasHapus
  4. ijin share yo Pak

    BalasHapus
  5. namanya juga indonesia, enggak gunung enggak kota, dianggap tempat sampah terbuka semua ckckck kesadaran masyarakatnya kurang. liat aja car free night di jakarta kemaren. sepanjang jalannya sampah semua!

    BalasHapus