Tiga puluh tahun
lalu, saat gemar-gemarnya membaca, saya dan adik perempuan pertama saya, kerap
menunggu koran langganan ayah sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Kami
biasa berbaring terlentang di lantai, membuka halaman demi halaman koran yang
jumlahnya hanya 12 lembar. Tidak, kami tidak membaca semua isinya. Kami hanya
membaca judul dan menikmati gambar-gambar yang tercetak di situ.
Malam hari,
biasanya ayah membaca koran di tempat tidurnya. Ia bisa menghabiskan berjam-jam
waktunya sebelum tidur untuk itu. Saya kerap heran, sebegitu menarikkah isi
tulisan dalam koran? Apa sebenarnya isinya? Dan ayah hanya menjawabnya dengan
santai, “Ini berita. Informasi dari peristiwa yang terjadi kemarin.” Tentu saja saya
tidak lantas paham. Sebuah pengalaman soal itu terjadi kemudian, tapi saya tak
ingin menuliskannya di sini.
Jika lantas saya
ingin menjadi wartawan, itu bukan karena jawaban ayah atau peristiwa apapun.
Saya ingin menjadi wartawan karena berbagai alasan yang terus berkembang. Kelak
saya bahkan merasa tidak lagi perlu mengerti soal itu. Menjadi adalah sebuah
proses. Menjadi adalah sebuah pilihan. Bagaimana Anda bisa menjelaskan
eksistensi diri Anda saat ini, jika Anda sadar bahwa eksistensi itu terus
berkembang dan berkembang?
Menjadi wartawan
adalah keinginan saya. Pilihan yang saya ambil dari sekian banyak pilihan.
Menjalaninya adalah keputusan berbeda. Begitu juga dengan menekuninya dan
memperjuangkan nilai-nilainya. Saya tidak selalu berhasil. Mudah-mudahan, tidak selalu gagal
pula. Saya berhenti menghitung soal keberhasilan dan kegagalan belasan tahun
lalu semenjak saya sadar bahwa hidup bukan matematika. Hidup adalah serangkaian
pilihan dan saya sudah mengambil dan menjalaninya. Berkali-kali.
Jadi, saya tahu
betul soal konsekuensi pilihan itu. Saya menerimanya. Kadang dengan ikhlas. Tak
jarang melalui pertempuran (yang jarang pula saya menangkan). Sebab
konsekuensi-konsekuensi itu selalu hadir hanya dengan dua bentuk ; kegembiraan
dan kepahitan. Jika saya tetap memilih menjadi wartawan, alasannya sederhana ;
saya belum menemukan titik untuk berhenti. Bahkan ironi-ironi kehidupan
wartawan pun belum cukup menyentuh saya untuk berbalik dan menempuh jalan lain.
Mungkin Pulitzer benar ; “Para Presiden dan para Jendral datang dan berkuasa silih
berganti. Tapi seorang wartawan, akan selalu menjadi wartawan.”
Karena itulah,
saya tidak pernah takut menanggalkan kartu pers saya. Menulis surat
mengundurkan diri atau menerima surat pemecatan. Buat saya, kartu pers dan slip
gaji hanya atribut. Begitupun, saya juga tidak pernah menolak kesempatan untuk
menjadi bagian dari sebuah lembaga kewartawanan meski konsekuensinya untuk
pribadi tidak terlalu menyenangkan. Buat saya kredo menjadi wartawan itu sederhana ; kejujuran. Kata sederhana itu
melahirkan banyak hal ; keberanian, loyalitas juga kerendah-hatian. Semua itu
membentuk integritas. Jika Anda sudah memilikinya, sebagai wartawan, Anda tak
perlu lagi khawatir soal apapun.
Dan tidak, saya
bukan idealis. Saya tidak pernah menjadi idealis. Saya realis yang bahkan masih
sering terheran-heran pada realita. Begitu terheran-herannya sampai saya tidak
sadar bahwa realita itu juga kerap terjadi pada diri saya. Tapi saya tidak
menyesalinya. Jika saya menyesal, mestinya itu saya lakukan sejak lulus kuliah
dulu. Sudah terlambat untuk itu. Itu sebabnya jika realita itu akhirnya
benar-benar datang dan saya tidak menyukainya, saya dengan sadar menepikan diri.
Buat saya, dunia terlalu luas untuk memperjuangkan hanya sebuah realita.
Apalagi jika realita itu dipenuhi kebodohan dan keangkuhan yang membabi-buta.
Saya bersedia berjuang melawan itu jika pertempurannya adil, mesti jarang dan
mungkin tidak akan pernah terjadi. Sebab, pertempuran yang tidak adil selalu
membawa korban lain yang tidak perlu. Saya tidak menyukai hal itu. Menjalani
pertempuran seperti itu, akhirnya hanya membuat kita sama buruknya dengan apa
yang kita perangi.
Lebih duapuluh
lima tahun lalu, di puncak sebuah gunung, saya belajar dengan cara sederhana
dan murni soal arti kata berhenti dan kembali. Saya belajar bahwa dalam hidup,
berhenti dan kembali tidak selalu bisa ditandai dengan patok triangulasi atau
koordinat peta. Berhenti dan kembali adalah soal rasa dan naluri. Soal logika.
Juga soal keputusan pada pilihan. Dan lagi-lagi, ada konsekuensi setelah
keputusan dan pilihan itu. Saya hanya harus bersiap menerimanya sekali lagi.
Untuk kemudian bersiap memilih kembali.
Suatu hari, di
ruang tengah rumah ayah, putri kecil saya sibuk memencet-mencet tombol laptop
milik kakeknya. Ayah yang duduk di kursi yang sama, mengelus rambutnya sambil
bertanya ; “Kamu mau jadi apa nanti?” Istri saya yang kebetulan lewat menjawab
ringan, “Mau jadi wartawan kek. Kayak ayah.” Dari ruang tamu tempat saya duduk
membaca buku, saya bisa dengar ucapan ayah dengan jelas ; “Jangan! Jangan jadi
wartawan,” ucap ayah. Singkat. Dan datar.
Saya tersenyum
diam-diam. Mengingat kembali saat-saat ayah dan ibu dengan tatapan bangga
mengiringi saya tiap kali pamit berangkat meliput ini itu. Atau saat bercerita
perihal pengalaman di sana dan di sini, berdebat soal peristiwa yang terjadi
pada hidup, dunia dan manusia. Saya tahu, hidup adalah perubahan. Ayah mungkin
memilih untuk berubah. Dan saya menghormati pilihan itu. Namun, saya juga
yakin, jika kelak cucunya benar-benar menjadi wartawan, ia akan mempersilahkan
saya untuk merasa bangga. Bukan bangga menjadi wartawan. Tapi bangga menjadi
manusia yang mengerti pada pilihannya.
Tapi itu masih
cukup lama. Saya masih harus menunggu...