Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Kamis, 16 Mei 2013

MENJADI dan MENGERTI


Tiga puluh tahun lalu, saat gemar-gemarnya membaca, saya dan adik perempuan pertama saya, kerap menunggu koran langganan ayah sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Kami biasa berbaring terlentang di lantai, membuka halaman demi halaman koran yang jumlahnya hanya 12 lembar. Tidak, kami tidak membaca semua isinya. Kami hanya membaca judul dan menikmati gambar-gambar yang tercetak di situ.

Malam hari, biasanya ayah membaca koran di tempat tidurnya. Ia bisa menghabiskan berjam-jam waktunya sebelum tidur untuk itu. Saya kerap heran, sebegitu menarikkah isi tulisan dalam koran? Apa sebenarnya isinya? Dan ayah hanya menjawabnya dengan santai, “Ini berita. Informasi dari peristiwa yang terjadi kemarin.” Tentu saja saya tidak lantas paham. Sebuah pengalaman soal itu terjadi kemudian, tapi saya tak ingin menuliskannya di sini.

Jika lantas saya ingin menjadi wartawan, itu bukan karena jawaban ayah atau peristiwa apapun. Saya ingin menjadi wartawan karena berbagai alasan yang terus berkembang. Kelak saya bahkan merasa tidak lagi perlu mengerti soal itu. Menjadi adalah sebuah proses. Menjadi adalah sebuah pilihan. Bagaimana Anda bisa menjelaskan eksistensi diri Anda saat ini, jika Anda sadar bahwa eksistensi itu terus berkembang dan berkembang?

Menjadi wartawan adalah keinginan saya. Pilihan yang saya ambil dari sekian banyak pilihan. Menjalaninya adalah keputusan berbeda. Begitu juga dengan menekuninya dan memperjuangkan nilai-nilainya. Saya tidak selalu berhasil. Mudah-mudahan, tidak selalu gagal pula. Saya berhenti menghitung soal keberhasilan dan kegagalan belasan tahun lalu semenjak saya sadar bahwa hidup bukan matematika. Hidup adalah serangkaian pilihan dan saya sudah mengambil dan menjalaninya. Berkali-kali.

Jadi, saya tahu betul soal konsekuensi pilihan itu. Saya menerimanya. Kadang dengan ikhlas. Tak jarang melalui pertempuran (yang jarang pula saya menangkan). Sebab konsekuensi-konsekuensi itu selalu hadir hanya dengan dua bentuk ; kegembiraan dan kepahitan. Jika saya tetap memilih menjadi wartawan, alasannya sederhana ; saya belum menemukan titik untuk berhenti. Bahkan ironi-ironi kehidupan wartawan pun belum cukup menyentuh saya untuk berbalik dan menempuh jalan lain. Mungkin Pulitzer benar ; “Para Presiden dan para Jendral datang dan berkuasa silih berganti. Tapi seorang wartawan, akan selalu menjadi wartawan.”

Karena itulah, saya tidak pernah takut menanggalkan kartu pers saya. Menulis surat mengundurkan diri atau menerima surat pemecatan. Buat saya, kartu pers dan slip gaji hanya atribut. Begitupun, saya juga tidak pernah menolak kesempatan untuk menjadi bagian dari sebuah lembaga kewartawanan meski konsekuensinya untuk pribadi tidak terlalu menyenangkan. Buat saya kredo menjadi wartawan  itu sederhana ; kejujuran. Kata sederhana itu melahirkan banyak hal ; keberanian, loyalitas juga kerendah-hatian. Semua itu membentuk integritas. Jika Anda sudah memilikinya, sebagai wartawan, Anda tak perlu lagi khawatir soal apapun.

Dan tidak, saya bukan idealis. Saya tidak pernah menjadi idealis. Saya realis yang bahkan masih sering terheran-heran pada realita. Begitu terheran-herannya sampai saya tidak sadar bahwa realita itu juga kerap terjadi pada diri saya. Tapi saya tidak menyesalinya. Jika saya menyesal, mestinya itu saya lakukan sejak lulus kuliah dulu. Sudah terlambat untuk itu. Itu sebabnya jika realita itu akhirnya benar-benar datang dan saya tidak menyukainya, saya dengan sadar menepikan diri. Buat saya, dunia terlalu luas untuk memperjuangkan hanya sebuah realita. Apalagi jika realita itu dipenuhi kebodohan dan keangkuhan yang membabi-buta. Saya bersedia berjuang melawan itu jika pertempurannya adil, mesti jarang dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Sebab, pertempuran yang tidak adil selalu membawa korban lain yang tidak perlu. Saya tidak menyukai hal itu. Menjalani pertempuran seperti itu, akhirnya hanya membuat kita sama buruknya dengan apa yang kita perangi.

Lebih duapuluh lima tahun lalu, di puncak sebuah gunung, saya belajar dengan cara sederhana dan murni soal arti kata berhenti dan kembali. Saya belajar bahwa dalam hidup, berhenti dan kembali tidak selalu bisa ditandai dengan patok triangulasi atau koordinat peta. Berhenti dan kembali adalah soal rasa dan naluri. Soal logika. Juga soal keputusan pada pilihan. Dan lagi-lagi, ada konsekuensi setelah keputusan dan pilihan itu. Saya hanya harus bersiap menerimanya sekali lagi. Untuk kemudian bersiap memilih kembali.

Suatu hari, di ruang tengah rumah ayah, putri kecil saya sibuk memencet-mencet tombol laptop milik kakeknya. Ayah yang duduk di kursi yang sama, mengelus rambutnya sambil bertanya ; “Kamu mau jadi apa nanti?” Istri saya yang kebetulan lewat menjawab ringan, “Mau jadi wartawan kek. Kayak ayah.” Dari ruang tamu tempat saya duduk membaca buku, saya bisa dengar ucapan ayah dengan jelas ; “Jangan! Jangan jadi wartawan,” ucap ayah. Singkat. Dan datar.

Saya tersenyum diam-diam. Mengingat kembali saat-saat ayah dan ibu dengan tatapan bangga mengiringi saya tiap kali pamit berangkat meliput ini itu. Atau saat bercerita perihal pengalaman di sana dan di sini, berdebat soal peristiwa yang terjadi pada hidup, dunia dan manusia. Saya tahu, hidup adalah perubahan. Ayah mungkin memilih untuk berubah. Dan saya menghormati pilihan itu. Namun, saya juga yakin, jika kelak cucunya benar-benar menjadi wartawan, ia akan mempersilahkan saya untuk merasa bangga. Bukan bangga menjadi wartawan. Tapi bangga menjadi manusia yang mengerti pada pilihannya.

Tapi itu masih cukup lama. Saya masih harus menunggu...