Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Selasa, 25 September 2012

URBAN SURVIVAL KITS VS TUHAN : Ya Menang Tuhan Laaah!


Beberapa tahun lalu, saat ikut pelatihan SAR, seorang teman menyodorkan buku Urban Survival. Isinya bagus. Soal cara dan teknik bertahan hidup di daerah perkotaan saat bencana.  Memang tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang sedang saya ikuti. SAR ya SAR. Tapi tidak ada SAR kalau tidak ada bencana dan korban. Nah, buku ini, adalah soal bagaimana korban bisa bertahan hidup sampai pertolongan datang.

Kalau saya menganggap bagus, itu karena saya sadar bahwa saya, keluarga saya, teman-teman saya bersama orang-orang yang tidak saya kenal, hidup di sebuah negeri rawan bencana. Indonesia itu menempati urutan ke 3 rawan banjir. Ke 2 rawan gempa dan tsunami. Belum lagi bencana-bencana lain seperti letusan gunung api, longsor, kebakaran sampai kejatuhan meteor. Total, Indonesia masuk 5 negara paling rawan bencana di dunia.

Lucunya, banyak orang Indonesia tidak terlalu peduli soal itu.

Tidak percaya?

Jawab pertanyaan ini ; berapa titik sepanjang rumah sampai kantor Anda yang bisa menjadi sumber bencana? Berapa banyak potensi bahya sepanjang jalan dari rumah hingga sekolah anak Anda? Jika bencana datang dan Anda (bersama keluarga) terisolir dari dunia luar, bagaimana nasib Anda dan keluarga? Bagaimana menemukan mereka? Mengobati mereka? Melindungi mereka dari bahaya selanjutnya?
Seorang teman langsung sewot saat saya tanyakan soal itu padanya ; “Elu tuh! Dikasih aman bukannya bersyukur, malah ngebayangi yang nggak-nggak?"

Benar juga sih! Tapi apa sih, aman itu? Seberapa lama aman itu? Betulkah aman itu bisa kita nikmati terus menerus?

Jadi, saya kesampingkan soal gerutuan teman saya itu. Saya beruntung mendapat artikel dari badan SAR Internasional bentukan PBB. Isinya soal bagaimana Anda dan keluarga merancang disaster scenario yang bisa diterapkan untuk kondisi bencana. Pertama, artikel itu menyuruh Anda untuk memetakan potensi bahaya di sekitar Anda. Jika Anda bekerja di lantai 3 sebuah gedung misalnya, nah… itu potensi bahaya. Semua potensi bahaya yang biasa dihadapi oleh anggota keluarga harus Anda catat dan waspadai ; rumah, kantor, sekolah dan seterusnya. Lalu susunlah rencana untuk mengatasinya. Misalnya, minta anak Anda untuk tidak lari ke bawah tiang listrik tegangan tinggi di halaman sekolah jika gempa terjadi.

Lalu, Anda juga harus memetakan sarana dan prasarana yang akan Anda butuhkan dalam kondisi darurat ; rumah sakit, pasar, sarana komunikasi dan lain-lain.  Berapa jauh dari rumah Anda, berapa bahaya yang harus Anda lewati untuk menuju ke sana. Misalnya, antara rumah dan rumah sakit terdekat, Anda harus menyeberangi jembatan. Sarana ini mungkin tidak berfungsi jika bencana – gempa, misalnya, terjadi. Anda harus punya rute cadangan atau… rumah sakit cadangan!

Bagaimana jika semua sampai pada titik yang paling parah? Titik dimana Anda hanya bisa mengandalkan apapun yang Anda miliki?

Nah, di sinilah fungsi survival kits!

Para pendaki gunung, pengarung jeram, penjelajah rimba dan seterusnya, pasti familiar dengan istilah ini. Survival kits itu semacam sistem yang dirancang untuk dipergunakan dalam kondisi darurat yang memaksa kita bertahan hidup. Untuk mendaki gunung, survival kits biasanya terdiri dari pisau, tali, korek api, mata kail dan sebagainya. Fungsinya adalah sebagai alat bantu bertahan hidup ; mencari air, membuat api, membangun perlindungan darurat sampai mencari makan.

Lantas, bagaiman dengan urban survival kits?

Namanya saja sudah diawali dengan kata urban, jadi survival kits ini dirancang untuk bertahan hidup di perkotaan. Prinsipnya sih sama saja ; alat bantu untuk bertahan hidup. Tapi karena kondisi perkotaan berbeda dengan hutan atau pegunungan, maka isinya pun sedikit berbeda. Dalam artikel tadi, saya belajar merumuskan dan mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan dasar bertahan hidup di perkotaan. Berdasarkan itu, urban survival kits bisa dirancang.

Urban Survival Kits ; untuk mereka yang sadar soal fananya hidup!

Yang pertama, air. Ini vital. Untuk minum dan sanitasi. Percuma punya dua gudang mie instant kalau tidak punya air. Memangnya metabolisme tubuh Anda tidak butuh air untuk mencerna makan? Setelah air, perlindungan darurat. Lalu api, yang vital untuk memasak, penerangan dan sterilisasi. Setelah itu, baru makanan dan kebutuhan lain. Antara air dan perlindungan darurat ada peralatan P3K. Dibutuhkan jika ada yang terluka.

Kalau mau dijelaskan satu demi satu, tulisan ini akan sangat panjang. Jadi, saya persilahkan Anda melihat foto-fotonya saja. Agar kebayang seperti apa. Syukur-syukur kalau kepengen punya. Untuk yang ini, saya pernah coba tunjukan pada teman saya yang sewot itu. Seperti dugaan saya, ia tidak sewot, tapi berubah sinis ; “Alaaah, mau nyiapin apa kek, kalau waktunya mati sih, mati ajaaa! Kalau diadu survival kits elu sama kehendak Tuhan, ya Tuhan yang menang laaah!”

Benar juga sih! Tapi bukankah Tuhan mewajibkan kita untuk berusaha? Setahu saya sih, pasrah itu hanya boleh dilakukan kalau kita sudah bersusah payah. Dan coba pertimbangkan ini ; mengapa tidak bersusah payah untuk orang lain ; anak, suami, istri, ibu, ayah, kakek, nenek, adik, kakak, sahabat, teman, selingkuhan, tetangga dan seterusnya? Mereka mungkin lebih fana dibanding Anda! :-P

Selasa, 05 Juni 2012

BTHARI, AIRSOFT, NVG DAN KODOK DI SAWAH


Tahu dong airsoft-gun. Ini hobi bagi military enthusiast. Konsep hobi ini terus berkembang sejak pertama kali ditemukan dan dilakoni. Gara-garanya pelarangan pemilikan senjata api di Jepang pada 1970-an, yang membuat diciptakannya replika senjata dengan peluru plastik. Awalnya cuma digunakan untuk perang-perangan. Lalu, entusiasme ini berkembang. Selain replika senjata yang makin mirip, para pelakunya juga meniru operator militer dari elemen pakaian, perlengkapan hingga taktik perang. Tahun 1990-an hobi ini merambah Amerika sebelum kemudian merambah dunia, termasuk Indonesia.

Bicara airsoft memang bisa sangat panjang. Sebab hobi ini, terus menerus berkembang sampai pada taraf yang mencengangkan. Dulu replika senjata berkerja dengan sistem spring – per, pegas. Sekarang ada yang bekerja dengan gas bahkan batere listrik. Peralatan dan uniform untuk airsoft-gun pun berkembang makin beragam, Rasanya, tidak ada elemen militer – dalam tingkat individu, setahu saya – yang tidak dikopi oleh para airsofter. Memang tercatat penggunaan truk, bahkan tank, dalam skirmish – di Amerika dan Swedia. Tapi tentu saja, cuma untuk menciptakan atmosfir “perang beneran”.

Soal skirmish – istilah yang paling sering digunakan untuk aksi perang-perangngan selain MilSym – Military Simulation, ada banyak peran yang bisa dipilih oleh para airsofter. Tergantung skenarionya. Tergantung eventnya. Di skirmish militer modern atau, katakanlah, Perang Dunia II dan Perang Vietnam, peran regular army, special forces sampai snipers, bisa dipilih. Teori dan skenarionya sih, peran mereka berbeda. Tapi, percayalah, pada prakteknya, seringkali amburadul. Maklum, semirip-miripnya airsofter, mereka tetap bukan professional operator.

Skirmish atau MilSim, bisa berlangsung beberapa jam, bahkan beberapa hari di lokasi yang sudah disepakati. Di sinilah para airsofter yang sudah dibagi menjadi kubu-kubu terpisah saling adu tembak, adu strategi, adu teriak, adu ledek sekaligus cekikikan dan menjerit kesakitan kalau terhantam BB – peluru plastik bulat berukuran normal 6-8 mm, di bagian tubuh yang tidak terlindungi. Tentu saja, meski relatif aman, ada standar keamanan dan keselamatan yang mesti dipatuhi para airsofter. Jadi, selain untuk entusiasme, peralatan dan uniform yang digunakan para airsofter pun berfungsi sebagai pelindung.

Kalau bicara peran, saya memilih jadi sniper. Makanya, sejak awal ikut-ikutan hobi ini, saya langsung mengincar replika sniper-rifle. Berhubung newbie tapi sok tahu, saya langsung mencari sniper-rifle idaman saya ; M14, Remington 700 atau Vintorez SS. Syukur-syukur kalau bisa dapat yang klasik macam Moshin Nagant, Garant M1C-D atau Mauser K98 dan Gehwer G43 yang legendaris itu. Hasilnya, “Emangnya yang punya pabrik babe lu!” kata teman saya, airsofter senior yang saya tanya-tanya soal itu. “Udah, pake M16 gue aja! Sok gaya lu!” ucapnya lagi sembari menyodorkan replika unit itu. Ternyata jenis-jenis sniper-rifle tadi  belum ada di pasaran waktu itu. Entah sekarang. Jenis paling popular yang ada saat itu adalah Dragunov dan L96 Accuracy International. Meski kecewa, barang second yang entah berapa kali dimodifikasi itu pun saya beli juga akhirnya.  Selain sniper-rifle, saya juga membeli ghillie suit, uniform dan tactical vest – rompi tempur, yang sepertinya cocok untuk peran yang saya pilih. Tentu saja, peralatan keamanan macam goggles, glove dan tetek bengek lainnya terpaksa dibeli pula. Syukurlah, semuanya second. :p

Niat saya saat itu cuma ingin perang-perangan. Titik. Jadi, istilah geardo – entusias yang getol meniru operator asli, collector dan aliran airsofter lain, tidak terlalu menarik minat saya. Dan, keinginan saya tadi terkabul saat mengikuti skirmish pertama kali. Karena bukan klub resmi, kami bersepuluh memilih kawasan Situ Gunung sebagai areanya. Skenarionya sederhana ; 2 X 24 jam, five on five, deathmatch! Benar-benar seenaknya, karena bahkan pihak Taman Nasional tidak tahu kalau ada 10 sniper palsu sedang sok bergerilya di situ. Yang ini, jangan ditiru! Bergabunglah dengan klub. Bermainlah di area khusus yang sudah disepakati dan diizinkan. Ini menyangkut keamanan, keselamatan dan kesadaran untuk tidak membuat orang lain jantungan dan terkaget-kaget!

Kembali lagi, ternyata, jadi sniper itu menyebalkan! Terutama jika lawannya pun sniper! Jangan membayangkan perang seru ala film Enemy At The Gates, Shooter atau Sniper-nya Tom Berenger. Boro-boro seru. Yang pertama, kami harus (sok) invincible. Jadi awalnya, berjalan pun harus menunduk-nunduk, merayap atau merangkak. Padahal belum tentu ada musuh yang mengincar. Selain itu, udara di kawasan yang dingin pada malam dan dini hari, membuat kami lupa prinsip-prinsip sniper ; no light, no smoke, no sound, nothing! Semuanya dilanggar. Terutama no smoke ; karena 8 dari 10 sniper gadungan itu perokok berat dan penikmat kopi  yang pasti merasa berdosa kalau tidak membuat api unggun, menyeduh kopi  dan mengisap rokok di udara dingin pegunungan. Walhasil, dua malam itu, yang terjadi bukan perang sniper, tapi camping dan hiking sambil membawa unit airsoft. :D

Masalahnya adalah area tempur yang terlalu luas. Tujuan sekenario yang terlalu umum ; kill every enemy, dan waktu yang terlalu lama untuk para pemula. Setelah 2 X 24 jam itu, tidak ada yang tewas dengan sukses. Hanya sekali terjadi kontak dan 10-15 kali tembakan asal-asalan karena masing-masing kubu langsung sibuk “menghilangkan-diri”. Setelah semua usai dan kami berkumpul, barulah disadari bahwa selama 48 jam itu, kami ternyata lebih sering dipisahkan oleh 2 buah bukit! Lha, bagaimana mau perang? Hhuh, sudah merayap-rayap pula!

Sekarang, setelah dua tahun, saya memandang airsoft sebagai sebuah hobi yang menyenangkan karena ya memang menyenangkan. Terutama jika Anda easy-goers yang ingin menikmati suasana berbeda dari kehidupan sehari-hari. Memang, kalau sekedar berbeda, ada banyak pilihan. Namun, airsoft juga menawarkan banyak hal positif. Misalnya belajar untuk bersikap tenang, strategis dan efektif serta disiplin. Terutama disiplin menabung, karena airsoft relatif butuh budget yang cukup besar jika ingin tampil keren. Saya untungnya manusia yang simple. Jadi ya, simple saja. Kalau ada biaya lebih, ya beli. Kalau tidak, ya ngerayu teman untuk barter saja. Keren kan?! :P

Tapi soal kekonyolan-kekonyolan, sampai saat ini masih sering terjadi. Di area skirmish, pernah lho saya menembaki posisi  spotter saya – partner sniper yang bertugas membantu membidik sasaran dan melindungi main shooter jika terjadi intense fire-fight – gara-gara ia kebelet pipis tapi tidak memberi tahu. Hasilnya, spotter saya itu balas menembak – karena mengira saya musuh sambil memanggil-manggil  minta bantuan.  Tentu saja, lewat radio, saya membalas dengan panik, “Under fire, under fire!” Benar-benar tolol! :D

Kekonyolan terbaru terjadi belum lama ini. Putri kecil saya, Bthari, tampaknya sangat penasaran pada peralatan airsoft saya, terutama pada IBH Helmet plus NVG yang nangkring di situ. Tiap kali saya membenahi peralatan airsoft, ia selalu memperhatikan dengan pancaran mata ingin tahu. Saat itu saya sibuk mengutak-atik side-arm yang terjatuh ke lumpur dan membiarkan helmet dan NVG yang juga akan saya bersihkan, tergeletak di atas lantai. Bthari sampai menunggingkan tubuh mungilnya untuk mengintip helmet itu dari depan. "Itu NVG nak," ujar saya sambil menahan tawa. "Night Vision Goggle. Kalau pakai itu, adek bisa melihat kodok lagi nyanyi di sawah malam-malam!" Tahu apa yang terjadi? Ia menarik NVG itu lalu menyeretnya (berikut helmetnya) di atas lantai, berlari ke teras rumah! "Ayaaah... kodoknya lucu," teriaknya tanpa dosa sambil menunjuk ke arah sawah di depan rumah. Ampuuun... untung helmet dan NVG second dan murah!

Kalau saya menyukai peran sniper itu bukan karena saya jagoan menembak, tapi karena kebanyakan peran ini hanya perlu nyumput (bahasa Sunda ; ngumpet, Red.) dan tidak perlu lari-lari sembari teriak-teriak. Dan helmet ber-NVG - saya beli karena kepengen gaya - memang kurang cocok untuk peran itu. Mungkin sudah waktunya ayah jual ya dek. Uangnya kita pakai buat beli snipers camouflage-suit... berbentuk kodok! Pasti ayah selamat sehat wal-afiat. Kan, airsofter dilarang menembak hewan! :D

Rabu, 30 Mei 2012

BAGAIMANA SIH CARANYA NGE-SAR?


Gara-gara musibah SUKHOI SJ100 kemarin, saya banyak ditanya soal Search and Rescue - SAR. Padahal, saya sama sekali bukan ahli SAR. Saya cuma pernah dididik soal SAR dan ikut beberapa operasi SAR. Itu pun sebatas di daerah pegunungan. Tapi, santernya berita musibah SUKHOI SJ100 membuat beberapa teman bertanya dengan rasa ingin tahu. Saya sih, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin saja. Karena operasi SAR memang sederhana dalam teori. Namun prakteknya, bisa bertolak belakang lebih dari 180O!

Search and Rescue itu, ya upaya yang dilakukan secara terencana dan metodis untuk menyelamatkan seseorang atau sekelompok orang yang tidak bisa menolong dirinya sendiri. Dari segi medannya, ada beberapa jenis SAR ; Mountain and Remote Area SAR, Urban SAR (USAR), Ground SAR, Sea and Air SAR sampai Combat SAR. Tidak usah terlalu serius soal ini. Jenis-jenis SAR ini cuma batasan yang sangat cair sifatnya. Yang jelas, SAR dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan beragam tujuan. Soal tujuan ini memang sering diperdebatkan. Memang tujuan SAR yang utama adalah menyelamatkan jiwa seseorang. Namun dalam banyak kasus, operasi SAR tetap dilakukan bahkan pada kondisi dimana kemungkinan hidup korban sudah dianggap tidak ada.

Kalau mau membahas jenis-jenis SAR berdasarkan medannya tadi, kita harus bicara berpanjang-panjang. Tapi karena pertanyaan utamanya adalah bagaimana, maka saya akan paparkan saja – sekali lagi, secara sederhana. Dan proses ini tidak berlaku secara khusus ya. Sebab semua negara memiliki Badan SAR resmi dengan tata cara dan metode sendiri walau aturan utamanya biasanya sama. Aturan ini dikeluarkan oleh badan SAR internasional yang menjadi afiliasi badan-badan SAR resmi negara-negara anggotanya.

Pertama-tama, alarm tanda bahaya dibunyikan! Saat itu, semua elemen SAR bersiaga. Ada elemen operasi, elemen komunikasi, elemen data dan dokumentasi dan elemen administrasi serta logistik juga elemen lain sesuai kebutuhan. Masing-masing elemen ini mulai menjalankan tugasnya sampai kepastian bahwa kondisi darurat bencana atau musibah memang diyakini terjadi.

Nah, setelah musibah diyakini benar-benar terjadi, elemen operasi pun langsung memegang kendali. Di elemen ini bekerja individu-individu yang memang terlatih untuk merencanakan, mempersiapkan, memimpin dan mengendalikan operasi SAR. Semua proses ini dilakukan dengan dukungan penuh elemen lain. Elemen komunikasi, misalnya, bekerja menyebarluaskan berita, menyediakan saluran komunikasi paling efektif sekaligus memberi informasi yang akurat pada masyarakat. Elemen data dan dokumentasi, bekerja menyediakan semua data yang dibutuhkan untuk menyusun perencanaan operasi SAR yang efektif. Sedangkan elemen administrasi dan logistik mengurus soal-soal biaya, peralatan dan sarana hingga sukarelawan.


Lalu, ditunjuklah SAR Coordinator - SC, Inilah jenderal yang memimpin operasi SAR. Ia dibantu oleh SMC – SAR Mission Coordinator, komandan operasional yang bertugas mengatur semua hal menyangkut operasi SAR di lapangan. SMC inilah yang menentukan Search Area, daerah pencarian yang ditetapkan secara hati-hati dengan beragam pertimbangan dan metode. Setelah Search Area ditetapkan, strategi SAR pun disusun dengan cepat untuk dilaksanakan oleh OSC – On Scene Commander, komandan lapangan yang bertugas sebagai pengendali-pengendali SRU – Search and Rescue Unit, unit-unit pencari, ujung tombak operasi SAR di lapangan.

Dalam operasi SAR dikenal banyak metode penetapan Search Area, metode pencarian, metode penyelamatan dan metode evakuasi. Metode mana yang digunakan, tergantung dari medan, sarana yang tersedia serta tingkat keahlian para personil SAR di lapangan. Untuk Mountain and Remote SAR, Ground SAR, Sea and Air SAR, metode yang paling krusial umumnya adalah metode pencarian mengingat Search Area-nya relatif luas. Untuk Urban SAR, biasanya metode penyelamatan sangat krusial. Korban yang terperangkap di reruntuhan gedung, misalnya, membutuhkan teknik penyelamatan yang jauh lebih rumit. Tentu saja, semua tidak rigid. Dalam kasus musibah SUKHOI SJ 100, metode evakuasi justru menjadi masalah krusial karena lokasi musibah yang sulit dicapai.

Lalu, keahlian seperti apa sih yang harus dikuasai para anggota SAR?

Ya, tergantung tugasnya, tentu saja. Mereka yang sanggup menjabat tugas sebagai SC, SMC dan OSC tentu bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak hanya terlatih secara teknis, namun terlatih pula secara teoritis dan akademis. Jangan salah, SAR juga ada sekolahnya! Para komandan ini, bukan hanya sanggup terjun ke lapangan, tapi juga sanggup memenej sebuah kegiatan yang harus dilakukan secara tepat dan cepat. Efisien dan efektif. Keahlian memenej inilah yang tidak bisa dilakukan sembarangan orang ; ada unsure kepemimpinan, pengambilan keputusan, perencanaan dan seterusnya. Ingat, semua proses ini diburu waktu! Konsekuaensinya sederhana ; hidup atau mati! Jadi, sekali lagi, tidak semua orang sanggup.

Para anggota SAR di lapangan pun adalah individu yang terlatih secara menyeluruh ; keterampilan dan mental fisik. Banyak yang mengira anggota SAR di lapangan hanya perlu menguasai keterampilan survival dan navigasi. Ini salah besar! Para anggota SAR di lapangan juga harus mampu menguasi teknik-teknik mountaineering (seperti rock climbing dan teknik vertical rescue-nya), P3K, evakuasi bahkan membaca jejak dan menguasai bahasa komunikasi internasional. Pada Urban SAR, para anggota SAR juga dibekali keterampilan menyangkut bahaya di daerah perkotaan ; bahaya yang umumnya disebabkan karena gagalnya sarana dan prasarana buatan manusia seperti gedung, saluran gas bawah tanah atau jaringan listrik. Para anggota Urban SAR juga kerap dibekali ilmu arsitectural hazard ; bahaya arsitektural yang umumnya dihadapi di lapangan. Dengan ilmu ini, para anggota SAR tahu mana gedung yang aman dimasuki atau tidak setelah gempa 8 Skala Richter, misalnya. Untuk operasi  SAR di perairan, para anggota SAR dilatih keterampilan menyelam. Tentu saja, keterampilan menyelam yang jauh lebih tinggi dari sekedar menyelam untuk rekreasi. Yang pasti, tugas utama para anggota SAR di lapangan adalah to locate, to stabilize dan to evacuate para korban yang masih hidup. Jadi, ini bukan sekedar perkara mengangkat tandu!

Bagaimana dengan para sukarelawan? Apakah mereka juga wajib menguasai keterampilan-keterampilan seperti itu? Idealnya sih begitu! Sukarelawan kan bertujuan untuk membantu, bukan merepotkan! Yang jelas para sukarelawan harus bersedia secara jujur menginformasikan tingkat dan keterampilan yang dikuasainya dan bersedia menerima tanggungjawab yang diberikan padanya sesuai tingkat dan jenis keterampilannya tadi. Jangan malu! Operasi SAR bukan sebuah perlombaan atau ajang gagah-gagahan.Bukan arena adu pintar atau adu benar! Operasi SAR adalah sebuah kesempatan untuk belajar menghargai kehidupan. Bekerja di dapur umum pos komando, menyediakan makanan dan minuman hangat untuk regu-regu pencari yang kelelahan agar mereka bisa kembali bekerja dengan efektif dan tidak kehilangan semangat, juga sama mulianya!

Bagaimana? Jelas? Mudah-mudahan. Sederhana? Sama sekali tidak, bukan! J

Rabu, 07 Maret 2012

DI GUNUNG, NAK... TIDAK ADA TOKO MAKANAN KALAU KALIAN LAPAR!


Hari baru saja berganti, 4 Mei 1976, 12.30 dini hari. Suara gemuruh datang di kejauhan. Perempuan itu tidak bisa mengelak. Longsoran salju terlalu cepat dan mendadak. Ia terkubur hidup-hidup. Meski mencoba bertahan, shock membuatnya tak sadarkan diri. Hanya 6 menit, sebelum seorang sherpa menariknya keluar dari timbunan salju yang membekukan. Terguncang hebat, perempuan itu hanya bisa terdiam, menatap langit biru mengatur napas di udara 6.300 meter dari permukaan laut yang tipis. Hal terakhir yang ia ingat sebelum tak sadarkan diri adalah putri kecilnya yang berumur 3 tahun, Noriko, jauh di seberang lautan. “Gunung mengajarkan saya, “ ucapnya kemudian, “Bahwa hidup tidak boleh disia-siakan!”

Dua belas hari kemudian, dunia mencatat namanya ; Junko Tabei, wanita pertama yang berhasil mendaki Mount Everest, gunung tertinggi di dunia. Tanggalnya, 16 Mei 1975. Umurnya saat itu, 35 tahun.  Seperti semua puncak gunung di dunia – tak peduli berapapun tingginya – tidak ada apa-apa di puncak Everest. Tabei bahkan mengaku, ia tidak lantas dilanda kegembiraan. “Saya hanya senang, tidak harus mendaki lagi,” ucapnya polos. Di puncak itu, Tabei memandang ke bawah. Mengingat nama-nama 14 pendaki wanita Jepang yang berangkat bersamanya dan terkubur bersama saat avalanche datang. “Tidak ada seorangnpun yang tewas. Dan itu yang mendorong saya ke puncak!”


Dilahirkan dengan nama belakang Ishibashi, 22 September 1939, Junko bukan anak perempuan yang sangat sehat. Ada masalah kesehatan pada paru-parunya. Ia lemah dan sakit-sakitan. Pada umur 10 tahun, Junko yang bosan diejek, tiba-tiba saja menemukan dunia baru yang mencengangkan saat darmawisata sekolah. Sebuah gunung menyandera pandangannya. Gunung itu, Asahi kemudia didakinya bersama seorang guru dan beberapa temannya. Setelah itu, ia bersikeras mendaki Chausu. “Saat itu, mendaki gunung bukan sebuah pilihan bijak,” paparnya. “Kami baru saja bangkit dari kehancuran dan kami harus lebih khawatir soal apa yang bisa kami makan .”

Tapi Junko tidak menyerah. Ia menyesuaikan diri.

Di bangku kuliah, Junko diam-diam bergabung dengan klub pendaki gunung. Mahasiswa lain mencemoohnya ; menyangka ia bergabung karena ingin mencari jodoh. Junko tidak peduli. Ketika ia berhasil mendaki Fujiyama, seluruh isi kampus tersenyum padanya dengan hormat. Umur 27 tahun ia menikah dengan   Masanobu Tabei, seorang pendaki gunung yang cukup popular di Jepang. Pernikahannya ditentang sang ibu hanya karena Masanobu tidak pernah kuliah. 

Junko kembali menyesuaikan diri. Ia menunjukkan cintanya dengan menjadi istri yang baik seperti adat Jepang. Sang ibu akhirnya menyerah, meski tahu Junko belum menghapus kecintaannya pada gunung dan petualangan.

Bertahun setelah mendaki Everest, Junko Tabei mendatangi Indonesia pada tahun 1992. Wanita mungil ini amat ramah dan rendah hati. Tak berhenti berterima kasih karena sudah diterima dan diizinkan mendaki Cartenz Pyramide. Setelah pendakian itu, ia menjadi Seven Summiter pertama di dunia – wanita pertama yang mendaki tujuh puncak tertinggi di tujuh benua. Menjadi orang ke 36 mendaki Everest dan Seven Summiter wanita pertama membuat Junko amat popular dan dihormati. Lagi-lagi, Junko melakukan penyesuaian meski sebenarnya ia tidak pernah menyukai popularitas dan tanggungjawab yang mengikuti popularitas itu. Setelah ekspedisi Everest, Junko menolak sponsorship. “Sponsorship membuat saya merasa mendaki tidak untuk diri saya sendiri. Membuat saya merasa bekerja untuk perusahaan pemberi dana,” ujarnya.

Kini Tabei aktif mengajarkan pentingnya kelestarian alam dan tetap bersemangat mendaki. Mendorong kaum wanita muda Jepang untuk menggapai impian dan cita-cita mereka. Tapi, betapapun hebat pencapaiannya, di rumah, Junko adalah istri dan ibu. Manasobu, sang suami berujar kalau ia bisa saja menghapus semua impian Junko bertahun-tahun lalu. “Ia akan menurut. Percayalah, ia akan menurut dan menjadi ibu rumah tangga biasa,” ujarnya. “Tapi justru karena ia akan menurut yang membuat saya yakin ; ia harus menggapai impiannya!” Manasobu juga menolak anggapan kalau ia seorang suami yang sangat baik dan pengertian. “Bukan soal itu,” ujarnya. “Ini soal ketulusan pada takdir dan hakikat diri kita.” Ia mengatakan bahwa kehebatan Junko adalah kemampuannya dan kemauannya untuk menyesuaikan di diri di saat yang tepat.  “Setelah membuktikan bahwa ia istri dan ibu yang baik, menjadi kewajiban saya untuk mendorongnya menggapai impiannya! Itu naluriah!”

Sang putri, Noriko, berujar singkat soal ibunya, “Sebenarnya, ia bukan pendaki gunung. Ia seorang ibu!” Bagaimana tidak. Pertama kali mengajak Noriko dan adik laki-lakinya, Shinya, mendaki gunung, yang pertama kali diucapkan Junko adalah, “Di gunung, nak… tidak ada toko makanan kalau kalian lapar!”  Lalu? “Ia memasak saat waktu makan dan menyuruh kami menghabiskan makanan kami  tanpa sisa,” ujar Noriko sambil tertawa.  “Kami katakan ; baik ibu! Tidak ada toko makanan kalau bekal kita habis!”

Jumat, 27 Januari 2012

GPS? Fuck!


Sumpah! Saya pernah bermaksud membuang GPS saya sejak 1,56 juta tahun yang lalu!

Sebutlah saya alay lebay, karena mungkin benar. Tapi, beneran, saya sudah pernah anti Global Positioning System. Alasannya sepele ; GPS itu teknologi canggih. Sementara, otak saya tidak terlalu canggih. Namun alasan sebenarnya adalah karena makin canggih sebuah teknologi – entah kenapa, koreksi saya jika salah – teknologi itu makin ringkih (Jawa ; lemah – Red.). Atau – ini lebih berbahaya – membuat kita makin ringkih!

Ini pengalaman nyata.

Di sebuah gunung, dengan noraknya (padahal tidak ada orang selain saya dan climbing partner ) saya mengeluarkan GPS baru, memperhatikan layar LCD-nya, memencet-mencet tombol dan… saya langsung kebelet buang air besar! Climbing partner saya langsung mengerutkan kening. Kenapa, tanyanya. Makderabit, jawab saya sedikit panik. Kita melenceng 4 derajat!

Climbing partner saya langsung mesem. Norak lu, katanya santai. Tangannya meraih GPS baru milik saya itu. Matanya langsung meneliti layar LCD, membiarkan saya berdiri di sampingnya dengan harap-harap cemas. Tiga koma empat detik kemudian ia kembali menatap saya ; Ini bukan peta Papandayan dodol, ujarnya. Ini peta Jakarta! Melenceng 4 derajat dari mana? Dari Hongkong?

Oke, saya koreksi kalimat dua alinea di atas ; itu pengalaman nyata soal gobloknya saya. Nah, di bawah ini, pengalaman nyata soal teknologi yang makin canggih makin ringkih sekaligus membuat manusia penggunanya ikut ringkih.

Setelah paham kalau GPS butuh input data  lokasi, saya makin norak. Semua data lokasi yang pernah saya kunjungi, saya masukan. Siapa tahu saya membutuhkan suatu hari, pikir saya. Walhasil, GPS saya mungkin GPS paling gaul sekaligus paling apes, karena ke WC pun tak jarang alat canggih itu saya bawa. Pada beberapa perjalanan di alam bebas, GPS saya bekerja dengan baik. Tentu saja – sebagai bekas gaptekers – saya sangat sumringah (Jawa ; sedikit alay – Red.)

Sampai suatu saat, di sebuah sungai setelah 8 jam berarung jeram, malapetaka itu terjadi ; GPS saya tidak bekerja! Padahal, saya sudah membungkusnya dengan 3 lapis plastik agar tidak basah. Baterenya pun menyala sempurna. Saya bahkan membawa cadangannya. Tapi, di layar LCD yang terlihat hanya tulisan bodoh berbunyi ; Out of coverage area!

Lha, ujar saya dengan mimik bodoh (lagi) pada teman-teman seperahu, apa gunanya alat ini kalau ia tidak bisa mencakup semua titik di dunia? Apa kerjanya satelit-satelit di atas sana? Apa? Wedus gembel! Keterangan dari beberapa teman seperahu yang memang sudah lebih terbiasa menggunakan alat ini tidak memuaskan saya ; GPS mungkin saja gagal menerima sinyal karena banyak sebab dan sebagainya. Sebagai sebuah teknologi canggih, GPS bergantung pada teknologi lain yang tidak kalah canggihnya. Jika satu sistem gagal, sistem lain biasanya akan ikut gagal. Begitulah kelemahan sophisticated technology, ujar mereka panjang lebar. Sampai akhirnya – mungkin karena sebal mendengar omelan saya – sang kapten perahu menyodorkan peta sungai. Coba kang, ujarnya sembari menahan senyum, cek saja posisi kita di peta ini.

Dan terjadilah malapetaka kedua!

Saya terbengong-bengong menatap peta sungai yang tiba-tiba saja terasa asing! Padahal baru 3 tahun semenjak saya menggunakan GPS sialan itu! Tiga tahun! Apa sih yang bisa terjadi selama 3 tahun? Anak kecil saja belum tentu bisa cebok sendiri saat umur 3 tahun!

Tapi itulah kenyataannya! Tiba-tiba saja saya merasa tersesat sesesat-sesatnya. Tiba-tiba saja, saya kangen setengah mati pada kompas prisma yang sudah saya miliki lebih dari 20 tahun. Mendadak saya merasa berdosa ; saya sudah selingkuh! Sementara kompas butut itu selalu setia menemani saya kemanapun. Tidak pernah ngadat apalagi complain meskipun kerap ikut berbasah-basah dan berlumpur-lumpur. Oooh… ayam, eh… kompasku!

Manusia itu memang ajaib ya ; mahluk yang mudah terbius dan tergoda! Dan itu bukan hanya soal GPS vs. kompas  lho! Soal lain yang lebih seram pun begitu ; korupsi, WIL/PIL sampai nepotisme yang menyebalkan itu. Saya mengaku bukan manusia yang amat sangat setia pada sesuatu. Buat saya, kesetiaan itu relatif, karena pertanyaan soal kesetiaan itu sebenarnya bukan pada siapa. Tapi pada apa. Itu sebabnya, saya memilih setia pada Tuhan, bukan pada manusia. Saya memutuskan setia pada hukum-hukumnya. Walaupun tidak amat taat, saya selalu mencoba untuk menarik batasan. Sebab saya percaya, batasan itulah yang membedakan kemanusiaan sesorang. Nah, soal hukum Tuhan itu, salah satunya adalah perubahan. Percayalah, hidup itu intinya sebuah perubahan yang simultan. Anda menolaknya, kemungkinan Anda akan kalah. Sialnya, perubahan itulah yang juga membuat saya memutuskan untuk menyelingkuhi kompas saya dan bermesraan dengan si GPS.  

Saya tidak ingin berbicara soal benar salah. Sebab pada akhirnya, kesalahan terbesar bukan pada alat atau teknologi. Tapi pada manusianya. Kesalahan terbesar saya adalah tidak merencakan perubahan itu dengan bijaksana dan melakukannya dengan membabi buta. Dan seperti semua hal yang dilakukan dengan membabibuta - atau membadakpicek, menggajahjuling dan seterusnya - saya justru bertambah ringkih. Bukan bertambah kuat!

Padahal, bahkan Tuhan memberi kesempatan manusia untuk berubah selama hidupnya! Agar menjadi mahluk yang lebih baik. Caranya sebenarnya sederhana ; berlaku jujur. Saya tidak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan perubahan itu sesuai kebutuhan. Saya dibutakan oleh keinginan untuk menjadi sama dengan para pegiat alam bebas lain yang makin hari makin canggih. Padahal, sejak 3,8 juta tahun lalu, saya sudah percaya bahwa berbeda itu indah luar biasa.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya dan climbing partner saya kembali mendaki gunung. Kali ini, saya memasukan GPS dan kompas prisma saya ke dalam kantung yang sama. When sophisticated technology failed, the old knowledge will take control, ujar saya dalam hati sembari cengar-cengir. Selama pendakian tidak terjadi sesuatu. Kami mencapai puncak dan bersiap mengabadikan sunrise yang luar biasa indahnya. Ayo cepat, teriak climbing partner saya tak sabar. Ia memang bersedia menemani saya setelah saya iming-imingi berfoto dengan latar belakang sunrise. Lumayan buat profile picture Facebook, rayu saya sebelumnya. Agar lebih sulit ditolak saya lancarkan rayuan maut : kalau perlu, nanti gue cetakin 20R buat elu pajang di kamar. Anehnya, rayuan itu masih saja ampuh.

Setelah atur sana atur sini, saya mengarahkan Nikon FM2 saya. Wajah saya berubah pucat. Saya sengaja membawa kamera analog itu karena sudah cukup lama tidak menggunakannya. Padahal - seperti kompas saya - kamera itu banyak jasanya. Termasuk merekam beberapa kejadian penting seperti Kerusuhan Jakarta 1998, beberapa bencana alam nasional dan sebagainya. Melihat wajah saya pucat pasi, kening climbing partner saya berkerut. Dan kerutan itu tidak hilang selama 24 jam kemudian – selama perjalanan turun dan pulang - meskipun saya berusaha setengah mati meminta maaf ; saya lupa membawa film!

Maklum, sudah terbiasa memakai kamera digital! :p





Rabu, 18 Januari 2012

API DARI AIR DAN ES? BECANDA…


Kening keponakan saya langsung berkerut ketika saya mengucapkan kalimat ini ; “Api bisa lho dibuat dari air!” Ada kaca disamping tempat duduk Anda? Coba lihat, apakah kening Anda juga berkerut?

Sulap? Bukan! Sihir? Amit-amit! Ini murni pengetahuan berbasis logika!

Api itu proses oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi yang menghasilkan cahaya, panas dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya. Api berupa energi berintensitas yang bervariasi dan memiliki bentuk cahaya  - dengan panjang gelombang di luar spektrum visual sehingga dapat tidak terlihat oleh mata manusia - dan panas yang juga dapat menimbulkan asap.

Penemuan cara menyalakan api, mungkin merupakan salah satu penemuan terbesar dalam sejarah manusia. Pengetahuan menyalakan api membuat api menjadi salah satu alat terpenting yang mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Kalau tidak percaya, cobalah hidup seminggu tanpa api. Para arkeolog dan pasukan anti huru-hara pasti akan mengepung rumah Anda – mengira Anda Phitecantrophus Erectus yang masih tersisa!

Menyalakan api itu mudah jika Anda dibantu teknologi. Alat pembuat api bisa ditemui dimana-mana. Tidak usahlah saya sebutkan. Yang jelas, alat pembuat api modern bekerja dengan beberapa prinsip ; gesekan dua bahan kimia (korek api kayu dan gas) atau  gesekan dua kutub berbeda yang mengandung tenaga listrik (korek api elektrik). Jangankan Anda, anak balita seperti keponakan saya pun, bisa menggunakannya.

Nah, bagaimana jika alat pembuat api modern tidak tersedia? Mari kita membuat pertanyaan ini lebih dramatis ; bagaimana jika alat pembuat api modern tidak tersedia sementara Anda sedang berada di ketinggian ribuan meter di sebuah gunung terpencil, sendirian, kedinginan didera angin sementara di ransel Anda tersedia berbungkus-bungkus sop instant, kopi dan rokok? Kurang dramatis? Oke ; bagaimana jika alat pembuat api modern tidak tersedia saat Anda sedang berada di tengah-tengah Kutub Utara, berpacu dengan waktu membangun igloo sementara  seekor beruang kutub memperhatikan 100 meter dari tempat Anda sambil berpikir ; “Gue makan nggak ya nih orang?”

Survival adalah permainan mental!

Kalau bicara soal mental, bicaralah soal peralatan paling canggih dan mumpuni yang sebenarnya sudah Anda miliki sejak Anda belajar mengeja huruf dan angka ; kreatifitas! Dengan kreatifitas inilah, api bisa dibuat dari air dan es!

Bagaimana caranya? Baiklah! Berhentilah melongo dengan mulut terbuka dan perbaiki sikap duduk Anda. Malu dong sama komputer!

Salah satu metode menyalakan api adalah dengan memanfaatkan titik fokus cahaya. Caranya dengan menggunakan lensa kaca atau bahan lain ; Anda pasti pernah melakukannya dengan sebuah kaca pembesar atau suryakanta. Bisa juga dengan memantulkan cahaya menggunakan bahan yang memang memantulkan cahaya atau reflektor. Metode ini kita bahas di tulisan tersendiri. Nah, di sinilah kreatifnya. Suryakanta bisa dibuat dari bahan air atau es!

Jadi, api bisa dibuat dari air atau es dengan metode titik fokus cahaya!

Untuk membuat api dari air, yang Anda butuhkan hanyalah selembar plastik bersih dan air secukupnya. Masukkan air ke dalam plastik. Buat air dalam plastik itu mengelembung seperti bola. Itulah suryakanta Anda. Arahkan sinar matahari agar terfokus di satu titik. Jika Anda menggunakan es, Anda harus membentuk es itu menjadi lensa cembung.


                                       Suryakanta dari air 

Mudah? Sama sekali tidak!

Suryakanta dari air menuntut bentuk bulat yang sempurna. Jika tidak, cahaya akan terbias kemana-mana dan sulit bagi Anda untuk mendapat titik fokus cahaya. Plastik yang digunakan harus setipis mungkin tapi cukup kuat untuk menahan tekanan air. Selain itu, airnya harus benar-benar bersih. Partikel-partikel dalam air bisa saja mengganggu usaha Anda membuat titik fokus cahaya. Anda bisa menggunakan material tipis lebar berbentuk lingkaran untuk memudahkan Anda membulatkan plastik berisi air tadi. Kesulitan yang hampir sama juga terjadi jika Anda menggunakan es. Hampir tidak ada es yang benar-benar bersih. Jika tidak kotor, biasanya terdapat gelembung udara yang bisa membiaskan cahaya.

Jadi, sebenarnya bisa tidak? Bisa! Bukti ilmiah menunjukkan bahwa banyak kebakaran alamiah terjadi karena metode ini ; api muncul dari titik fokus cahaya yang diciptakan setitik embun atau dari pantulan es alami. Saya sendiri mencobanya. Dan berhasil. Meski membutuhkan waktu 2 minggu percobaan, puluhan lembar plastik dan berbaskom-baskom es yang saya buat di freezer kulkas ibu saya (yang sempat berpikir saya hendak ganti profesi menjadi pedagang es balok!)

Oke! Berhenti tersenyum-senyum! Keluar dan cobalah! Percayalah, di depan komputer senyum Anda tidak menumbuhkan api asmara siapapun! Anda harus memfokuskannya pada seseorang di luar sana! :p


Senin, 16 Januari 2012

MENYALAKAN API ITU BUTUH CINTA!


RAHASIA TEKNIK SURVIVAL PRAKTIS

Cobalah makan sekerat daging ular mentah! Hueeek… Percayalah, Rambo pun akan berpikir dua kali. Tidak lucu dong, kalau jagoan tempur muntah cuma karena makanan mentah!

Menurut bukti sejarah, api sudah digunakan untuk memasak makanan sejak 1.9 juta tahun lalu. Dan bukan untuk itu saja. Api juga digunakan untuk bertahan dari udara dingin, memproduksi senjata sampai alat untuk menyiksa.  Para pegiat alam bebas ; pendaki gunung, pemanjat tebing, pengarung jeram dan seterusnya, amat menghargai api. Percayalah, setelah berjam-jam didera lelah, secangkir kopi atau teh hangat manis, menjadi hiburan yang luar biasa mewah di udara dingin.

Di kondisi darurat, api menjadi lebih penting dari sekedar membuat kopi atau teh hangat. Api bisa digunakan untuk melindungi diri atau menjadi alat pemberi sinyal. Masalah muncul jika alat-alat membuat api modern (korek api kayu, korek api gas atau pemantik magnesium) tidak tersedia. Di sinilah penguasaan teknik-teknik survival dasar memegang peranan penting. Salah satunya, menyalakan api dengan teknik primitif.

Ada banyak cara dan metode. Tapi yang paling populer adalah teknik Bow and Drill atau Firebow ; busur api. Sebuah teknik menyalakan api dengan memanfaatkan panas yang ditimbulkan oleh gesekan kayu. Disebut busur api karena gerak gesekan itu dilakukan dengan menggunakan busur dan tali, milip seperti busur untuk memanah. Ada empat bagian utama. Pertama, bow - busur. Dua driil - bor. Ketiga, socket - penahan bor. Keempat fireboard - alas kayu.

Caranyapun sederhana.

Pertama, buat busurnya. Lalu drill atau bor. Kemudian buat socket – pengendali dan penahan bor, serta fireboard – alas kayu. Di alas kayu inilah dibuat lubang dan potongan berbentuk V. Fungsinya, tempat salah satu ujung bor ditempatkan. Ujung lainnya ditahan oleh penahan bor. Lalu, bor yang sudah dililit tali busur pun diputarkan dengan gerakan busur. Di bagian bawah lubang alas kayu diletakkan serbuk penangkap percikan api.

Setelah semua siap, busur digerakan perlahan. Lilitannya akan membuat bor berputar. Perlahan saja, temukan ritmenya. Setelah itu, mulai percepat dan tekan penahan bor lebih kuat. Lama kelamaan, gesekan ujung bor pada alas kayu akan menghasilkan panas dan percikan yang ditangkap serbuk di bawah lubang. Anda hanya perlu membuat serbuk itu terus menyala menjadi bara. Lalu menambahkan kayu-kayu kecil untuk menyalakannya menjadi api.


Mudah bukan? Ya! Sangat mudah. Tapi percayalah, 95% percobaan pertama pasti gagal!

Bagaimana bisa?

Ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan pemula. Pertama, ujung bor pada lubang alas kayu dibuat runcing – seolah dibuat untuk melubangi alas kayu. Padahal justru sebaliknya. Ujung bor pada lubang alas kayu harus relatif tumpul. Ini justru membuat gesekan yang lebih cepat menimbulkan panas. Kedua, tali pada busur seringkali kurang kuat atau justru terlalu kuat. Akibatnya, putaran bor tidak efisien. Sering juga, bor justru diam ditempat sementara talinya bergeser terus karena permukaan bor terlalu licin.

Tapi, kegagalan yang seringkali masih terjadi disebabkan karena ketidaktahuan soal rahasia kecil ini ; menyalakan api itu ternyata butuh cinta!

Serius!

Dari beberapa percobaan, para survivor paham bahwa untuk menghasilkan panas dari gesekan kayu dibutuhkan dua jenis kayu berbeda. Tidak sekedar berbeda, tapi harus benar-benar cocok. Mirip pasangan yang jatuh cinta! Salah satu kayu harus lebih keras dari yang lain. Tapi, keduanya harus relatif sama kerasnya. Artinya tidak mudah patah. Kedua kayu juga harus sama-sama kering. Bagi survivor berpengalaman, menggesekan dua kayu yang basah, bukan cuma membuang tenaga percuma, tapi juga ‘ngeres’!

Sebenarnya saya ingin menulis daftar kayu yang cocok dipasangkan untuk membuat gesekan yang efektif membuat panas. Tapi ah, keenakan Anda dong! Survivor harus berani mencoba dan gagal. Sekaligus, saya juga ingin tahu seberapa ‘ngeres’ otak Anda! J




SAMPAH DI GUNUNG? SOAL KECIL!

Anda boleh protes, tapi itulah kenyataannya ; sampah itu soal kecil!

Mungkin sudah ratusan kali, pendaki gunung seperti Anda melihat langsung atau melihat foto-foto sampah yang bertebaran di sepanjang jalan setapak gunung. Anda mungkin miris, sedih, kesal atau malah marah. Pikiran Anda lantas membentuk pola pikir yang mengarah pada sikap, perilaku dan latarbelakang negatif pelaku-pelakunya. Setelah itu, Anda akan menyusun pertanyaan soal bagaimana mengatasi masalah-masalah itu.

Ada api, ada asap. Ada manusia, ada sampah!

Jadi, kalau hanya berpikir soal bagaimana agar tidak ada sampah di gunung, ya mudah ; jangan izinkan satu orang pun manusia mendakinya! Beres kan? Dan, eits, jangan buru-buru mengatai saya bloon. Sebab, tanpa Anda katai pun, saya sudah tahu saya bloon. Tapi akuilah dulu ; kita seringkali berpikir kurang jernih terhadap suatu masalah. Kita kerap berpikir soal masalah pada ujungnya. Bukan pangkalnya. Padahal, memetakan pangkal masalah adalah cara paling mudah menyelesaikan masalah. Termasuk masalah sampah di gunung.

Ini contohnya.

Beberapa tahun lalu, saya mendaki sebuah gunung di luar negeri, di sebuah negara maju (tidak usah saya sebutkan gunung atau negaranya ya... tidak penting!). Sebagai jurnalis, saya penasaran bagaimana gunung yang masuk wilayah Taman Nasional itu bisa sangat bersih dan terpelihara. Jadilah saya bertanya ini itu pada Kepala Taman Nasional-nya.

Apakah gunung dan Taman Nasional ini buka sepanjang tahun? Kapan biasanya dilakukan recovery? Si Kepala Taman Nasional memandang heran. Recovery, ujarnya balas bertanya. Nggak ada tuuuh… Apakah para pendaki gunung di sini getol melakukan kegiatan bersih gunung, tanya saya lagi. Si kepala Taman Nasional memandang makin heran. Bersih gunung? Apaan tuuuh… Saya penasaran. Apakah para pendaki gunung di sini semua pencinta alam yang kesadarannya soal kelestarian alam sangat tinggi, cecar saya. Si kepala Nasional lagi-lagi memandang heran. Pencinta alam? Apaan siiih…

Jadi, bagaimana gunung dan Taman Nasional ini bisa begitu bersih, terpelihara dan indah?

Sederhana, jawabnya. Ini soal reward dan punishment ; soal penghargaan dan hukuman!

Para Rangers, Jagawana atau apalah sebutannya, sadar betul bahwa mengurus sebuah gunung dan Taman Nasional itu pekerjaan yang luar biasa berat. Jangankan dibuka untuk umum. Tidak dibuka untuk umum pun, mengurus gunung dan Taman Nasional membutuhkan tenaga, keahlian, strategi dan biaya yang tidak sedikit. Jadi bayangkan jika gunung dan Taman Nasional itu terbuka dan bisa dimasuki oleh masyarakat umum. Soal manusia, sebenarnya soal mudah. Manusia itu mahluk yang mencari dan butuh pilihan. Ambil contoh ; berberat-berat membawa tenda atau kedinginan di puncak gunung? Pendaki yang pintar pasti memilih membawa tenda. Pendaki yang bodoh, memilih kedinginan. Di titik ini, ujar si Kepala Taman Nasional, kami katakan pada pendaki yang memilih kedinginan itu ; “Get your butt out of here! We don’t need another morron!”

Beres kan?

Tentu saja, teknisnya tidak seperti itu. Memangnya Opera Van Java!

Protokol dan prosedur disusun secara apik untuk mendeteksi masalah perlengkapan bahkan masalah kesiapan mental dan fisik pendaki-pendaki itu. Bukan hal aneh di kantor Taman Nasional di negara maju, terdapat mesin pendeteksi kandungan alkohol dalam tubuh! Bukan hal aneh juga kalau di kantor-kantor itu, tersedia selembaran gratis berisi informasi peralatan, peta lengkap sampai teknik survival praktis! Bahkan, di beberapa kesempatan, petugas Taman Nasional berhak mengadakan tes keterampilan. Biasanya tertulis. Di lembar tes itu disusun pertanyaan sederhana seperti bagaimana mendirikan tenda yang benar. Jika ada pendaki yang tidak bisa menjawab pertanyaan ini, para Rangers pasti menyalakan lampu tanda bahaya! Mereka langsung memberi latihan singkat dan bertanya apa lagi yang pendaki itu tidak ketahui soal kegiatan yang akan mereka jalani. Tak hanya itu, para Rangers juga mengawasi pendaki gunung ini dengan ketat, memonitornya dengan teratur. Jika sesuatu terjadi, tindakan bisa dilakukan dengan cepat karena masalahnya sudah diketahui sejak awal. 

Begitu juga soal sampah.

Beberapa Taman Nasional sangat ketat menerapkan aturan soal ini. Kebanyakan sampah yang dibawa pendaki gunung atau pengunjung Taman Nasional biasanya sampah berupa pembungkus makanan. Selebihnya adalah sampah yang berhubungan dengan kebutuhan lain seperti kebersihan atau peralatan.

     Mendaki tanpa sampah di Cradle Mountain, Tasmania

Tidak seperti Taman Nasional di Indonesia yang memperbolehkan pengunjung untuk membawa hampir apapun ke area konservasi, petugas Taman Nasional di negara maju amat teliti. Makanan diteliti dan ditimbang. Bukan jumlahnya yang dipermasalahkan tapi pembungkusnya. Makanan siap saji yang memiliki kemasan berlapis-lapis jangan harap bisa masuk. Pilihannya adalah ditinggal atau bungkusnya dikurangi. Ambil contoh mie instant yang dibungkus plastik dengan bumbu-bumbu yang juga dikemas. Jika tetap ingin dibawa, maka mie atau bumbunya harus dikeluarkan dan kemasannya dibuang. Ada beberapa Taman Nasional yang menerapkan peraturan berat maksimal bahan plastik yang boleh dibawa ke kawasan.

Peralatan pun begitu. Ditimbang dan dicatat. Gas kaleng untuk memasak dicatat jumlahnya. Begitu juga kebutuhan kebersihan seperti tissue atau pembalut. Membawa satu pak pembalut untuk kunjungan 24 jam pasti membuat para Rangers mengerutkan kening! Begitu juga jika ada pengunjung yang nekat membawa bergulung-gulung tissue.

Para pengunjung juga diwajibkan membawa kembali sampah mereka di dalam plastic-bag yang disiapkan Taman Nasional. Jika merepotkan, mereka boleh meninggalkannya di pos-pos pengumpulan sampah yang sudah disiapkan. Tapi mereka wajib melaporkannya. Jika tidak, jangan harap bisa meninggalkan Taman Nasional. Para Rangers akan menggiring pengunjung ke ruang tahanan sementara kasus pelanggaran mereka diproses dan denda dijatuhkan. Memang tidak seperti ruang tahanan kriminal. Tapi tetap saja memberi efek jera dan malu. Apalagi, hukumannya tidak hanya sampai di situ. Nama mereka dicatat dan disebarkan ke Taman Nasional lain. Jadi Taman Nasional lain akan bersiap ketika si pengunjung nakal itu datang. Jika sudah berkali-kali, Rangers bahkan berhak menolak kedatangan si pengunjung atau memperkarakannya secara hukum.

Soal denda juga tidak main-main. Ada beberapa Taman Nasional yang menerapkan aturan sita. Artinya, jika si pengunjung tidak memiliki uang untuk membayar denda, barang-barang mereka langsung disita. Umumnya, Taman Nasional itu bekerja sama dengan badan resmi penggadaian. Semacam Perum Penggadaian di Indonesia. Si pengunjung diperbolehkan pulang dan diberi waktu untuk membayar denda dan menebus barang-barangnya. Jika melewati tenggat waktu, badan penggadaian akan melelangnya, menyerahkan jumlah uang hasil lelang sesuai dengan denda yang dijatuhkan dan sisanya digunakan untuk kebutuhan sosial atau konservasi. Jadi, jangan harap Anda bisa lolos dengan memasang raut wajah memelas sambil berkata, “Yaaa bapak, saya nggak punya uang nih!” - sementara di punggung Anda, tersampir ransel berharga ratusan ribu! Di sana, para Rangers akan membalas rengekan Anda dengan kalimat, “Please deh! Basi tau!

Lho, ujar saya sambil melongo, sadis amat sih? Apakah peraturan seperti itu tidak membuat para pengunjung atau pendaki gunung takut? Si Kepala Taman Nasional menggeleng yakin. Tidak ada peraturan yang cukup berat untuk diikuti oleh pendaki gunung yang benar-benar mencintai alam!

Dan memang, bukan hanya soal pelanggaran saja yang disorot. Soal penghargaan untuk pengunjung yang baik pun amat diperhatikan. Jika Anda melaporkan sebuah kerusakan atau melakukan sesuatu melebihi kewajiban, Anda juga diganjar hadiah. Biasanya cuma sebuah pin sederhana, setangan (slayer) atau sertifikat. Nama Anda pun dicatat dalam daftar pengunjung yang baik. Keuntungannya, Anda bisa mendapat prioritas sebagai pengunjung yang jumlahnya memang selalu dibatasi. Kelihatannya sepele, namun ternyata mampu membangkitkan kesadaran dan kebanggaan memiliki dan menjaga.

Tentu saja semua ini butuh biaya. Dan biaya itu datang dari retribusi pengunjung. Jadi jangan langsung mengangkat kapak perang kalau Taman Nasional mengumumkan biaya retribusi baru yang lebih mahal. Sebab percayalah, harga kelestarian dan kebersihan itu memang mahal. Jangan lupa, Taman Nasional yang memiliki gunung, misalnya, juga harus menyediakan dana untuk kondisi darurat jika ada pengunjung atau pendaki yang mengalami kecelakaan. Jadi, biaya keamanan juga tinggi. Yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa biaya-biaya itu digunakan untuk tujuan sebenarnya. Tentu saja ada banyak faktor yang membuat semua itu bisa terlaksana. Dari sisi para Jagawana, tentu saja kesejahteraan dan perlindungan yang baik ; gaji tinggi, beragam asuransi mereka dan keluarganya dan kepastian karier. Di sisi masyarakat jangan lupakan tingkat pendidikan dan latar belakang sosial budaya.      

Ketika saya ceritakan masalah-masalah – terutama sampah, yang sering dihadapi di Taman Nasional kita, si Kepala Taman Nasional yang saya wawancara itu mengangguk-angguk. “Masalah sampah itu mudah,” katanya serius. “Masalah yang lebih sulit adalah kemauan!”

Nah ini dia! Maukah kita? Tentu saja! Bisakah kita! Ya bisa dong! Lha semua elemennya sudah ada kok! Apa sih yang tidak ada di Indonesia? Koruptor yang jadi selebriti aja ada kok!