Beberapa tahun lalu, saat ikut pelatihan SAR, seorang teman
menyodorkan buku Urban Survival. Isinya bagus. Soal cara dan teknik bertahan
hidup di daerah perkotaan saat bencana.
Memang tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang sedang saya ikuti.
SAR ya SAR. Tapi tidak ada SAR kalau tidak ada bencana dan korban. Nah, buku
ini, adalah soal bagaimana korban bisa bertahan hidup sampai pertolongan
datang.
Kalau saya menganggap bagus, itu karena saya sadar bahwa
saya, keluarga saya, teman-teman saya bersama orang-orang yang tidak saya
kenal, hidup di sebuah negeri rawan bencana. Indonesia itu menempati urutan ke
3 rawan banjir. Ke 2 rawan gempa dan tsunami. Belum lagi bencana-bencana lain
seperti letusan gunung api, longsor, kebakaran sampai kejatuhan meteor. Total,
Indonesia masuk 5 negara paling rawan bencana di dunia.
Lucunya, banyak orang Indonesia tidak terlalu peduli soal
itu.
Tidak percaya?
Jawab pertanyaan ini ; berapa titik sepanjang rumah sampai
kantor Anda yang bisa menjadi sumber bencana? Berapa banyak potensi bahya
sepanjang jalan dari rumah hingga sekolah anak Anda? Jika bencana datang dan
Anda (bersama keluarga) terisolir dari dunia luar, bagaimana nasib Anda dan
keluarga? Bagaimana menemukan mereka? Mengobati mereka? Melindungi mereka dari
bahaya selanjutnya?
Seorang teman langsung sewot saat saya tanyakan soal itu
padanya ; “Elu tuh! Dikasih aman bukannya bersyukur, malah ngebayangi yang
nggak-nggak?"
Benar juga sih! Tapi apa sih, aman itu? Seberapa lama aman
itu? Betulkah aman itu bisa kita nikmati terus menerus?
Jadi, saya kesampingkan soal gerutuan teman saya itu. Saya
beruntung mendapat artikel dari badan SAR Internasional bentukan PBB. Isinya
soal bagaimana Anda dan keluarga merancang disaster scenario yang bisa
diterapkan untuk kondisi bencana. Pertama, artikel itu menyuruh Anda untuk
memetakan potensi bahaya di sekitar Anda. Jika Anda bekerja di lantai 3 sebuah
gedung misalnya, nah… itu potensi bahaya. Semua potensi bahaya yang biasa
dihadapi oleh anggota keluarga harus Anda catat dan waspadai ; rumah, kantor,
sekolah dan seterusnya. Lalu susunlah rencana untuk mengatasinya. Misalnya,
minta anak Anda untuk tidak lari ke bawah tiang listrik tegangan tinggi di
halaman sekolah jika gempa terjadi.
Lalu, Anda juga harus memetakan sarana dan prasarana yang
akan Anda butuhkan dalam kondisi darurat ; rumah sakit, pasar, sarana
komunikasi dan lain-lain. Berapa jauh
dari rumah Anda, berapa bahaya yang harus Anda lewati untuk menuju ke sana.
Misalnya, antara rumah dan rumah sakit terdekat, Anda harus menyeberangi
jembatan. Sarana ini mungkin tidak berfungsi jika bencana – gempa, misalnya,
terjadi. Anda harus punya rute cadangan atau… rumah sakit cadangan!
Bagaimana jika semua sampai pada titik yang paling parah?
Titik dimana Anda hanya bisa mengandalkan apapun yang Anda miliki?
Nah, di sinilah fungsi survival kits!
Para pendaki gunung, pengarung jeram, penjelajah rimba dan
seterusnya, pasti familiar dengan istilah ini. Survival kits itu semacam sistem
yang dirancang untuk dipergunakan dalam kondisi darurat yang memaksa kita
bertahan hidup. Untuk mendaki gunung, survival kits biasanya terdiri dari
pisau, tali, korek api, mata kail dan sebagainya. Fungsinya adalah sebagai alat
bantu bertahan hidup ; mencari air, membuat api, membangun perlindungan darurat
sampai mencari makan.
Lantas, bagaiman dengan urban survival kits?
Namanya saja sudah diawali dengan kata urban, jadi survival
kits ini dirancang untuk bertahan hidup di perkotaan. Prinsipnya sih sama saja
; alat bantu untuk bertahan hidup. Tapi karena kondisi perkotaan berbeda dengan
hutan atau pegunungan, maka isinya pun sedikit berbeda. Dalam artikel tadi,
saya belajar merumuskan dan mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan dasar bertahan
hidup di perkotaan. Berdasarkan itu, urban survival kits bisa dirancang.
Yang pertama, air. Ini vital. Untuk minum dan sanitasi. Percuma
punya dua gudang mie instant kalau tidak punya air. Memangnya metabolisme tubuh
Anda tidak butuh air untuk mencerna makan? Setelah air, perlindungan darurat.
Lalu api, yang vital untuk memasak, penerangan dan sterilisasi. Setelah itu,
baru makanan dan kebutuhan lain. Antara air dan perlindungan darurat ada peralatan
P3K. Dibutuhkan jika ada yang terluka.
Kalau mau dijelaskan satu demi satu, tulisan ini akan sangat
panjang. Jadi, saya persilahkan Anda melihat foto-fotonya saja. Agar kebayang
seperti apa. Syukur-syukur kalau kepengen punya. Untuk yang ini, saya pernah
coba tunjukan pada teman saya yang sewot itu. Seperti dugaan saya, ia tidak
sewot, tapi berubah sinis ; “Alaaah, mau nyiapin apa kek, kalau waktunya mati
sih, mati ajaaa! Kalau diadu survival kits elu sama kehendak Tuhan, ya Tuhan
yang menang laaah!”
Benar juga sih! Tapi bukankah Tuhan mewajibkan kita untuk berusaha? Setahu saya sih, pasrah itu hanya boleh dilakukan kalau kita sudah
bersusah payah. Dan coba pertimbangkan ini ; mengapa tidak bersusah payah untuk
orang lain ; anak, suami, istri, ibu, ayah, kakek, nenek, adik, kakak, sahabat,
teman, selingkuhan, tetangga dan seterusnya? Mereka mungkin lebih fana dibanding
Anda! :-P