Hari baru saja berganti, 4 Mei 1976, 12.30 dini hari. Suara
gemuruh datang di kejauhan. Perempuan itu tidak bisa mengelak. Longsoran salju
terlalu cepat dan mendadak. Ia terkubur hidup-hidup. Meski mencoba bertahan,
shock membuatnya tak sadarkan diri. Hanya 6 menit, sebelum seorang sherpa
menariknya keluar dari timbunan salju yang membekukan. Terguncang hebat,
perempuan itu hanya bisa terdiam, menatap langit biru mengatur napas di udara 6.300
meter dari permukaan laut yang tipis. Hal terakhir yang ia ingat sebelum tak
sadarkan diri adalah putri kecilnya yang berumur 3 tahun, Noriko, jauh di
seberang lautan. “Gunung mengajarkan saya, “ ucapnya kemudian, “Bahwa hidup
tidak boleh disia-siakan!”
Dua belas hari kemudian, dunia mencatat namanya ; Junko
Tabei, wanita pertama yang berhasil mendaki Mount Everest, gunung tertinggi di
dunia. Tanggalnya, 16 Mei 1975. Umurnya saat itu, 35 tahun. Seperti semua puncak gunung di dunia – tak peduli
berapapun tingginya – tidak ada apa-apa di puncak Everest. Tabei bahkan mengaku,
ia tidak lantas dilanda kegembiraan. “Saya hanya senang, tidak harus mendaki
lagi,” ucapnya polos. Di puncak itu, Tabei memandang ke bawah. Mengingat
nama-nama 14 pendaki wanita Jepang yang berangkat bersamanya dan terkubur
bersama saat avalanche datang. “Tidak ada seorangnpun yang tewas. Dan itu yang
mendorong saya ke puncak!”
Dilahirkan dengan nama belakang Ishibashi, 22 September 1939, Junko bukan anak
perempuan yang sangat sehat. Ada masalah kesehatan pada paru-parunya. Ia lemah
dan sakit-sakitan. Pada umur 10 tahun, Junko yang bosan diejek, tiba-tiba saja
menemukan dunia baru yang mencengangkan saat darmawisata sekolah. Sebuah gunung
menyandera pandangannya. Gunung itu, Asahi kemudia didakinya bersama seorang
guru dan beberapa temannya. Setelah itu, ia bersikeras mendaki Chausu. “Saat
itu, mendaki gunung bukan sebuah pilihan bijak,” paparnya. “Kami baru saja
bangkit dari kehancuran dan kami harus lebih khawatir soal apa yang bisa kami
makan .”
Tapi Junko tidak menyerah. Ia menyesuaikan diri.
Di bangku kuliah, Junko diam-diam bergabung dengan klub
pendaki gunung. Mahasiswa lain mencemoohnya ; menyangka ia bergabung karena
ingin mencari jodoh. Junko tidak peduli. Ketika ia berhasil mendaki Fujiyama,
seluruh isi kampus tersenyum padanya dengan hormat. Umur 27 tahun ia menikah
dengan Masanobu Tabei, seorang pendaki gunung yang
cukup popular di Jepang. Pernikahannya ditentang sang ibu hanya karena Masanobu
tidak pernah kuliah.
Junko kembali menyesuaikan diri. Ia menunjukkan cintanya
dengan menjadi istri yang baik seperti adat Jepang. Sang ibu akhirnya menyerah,
meski tahu Junko belum menghapus kecintaannya pada gunung dan petualangan.
Bertahun setelah mendaki Everest, Junko Tabei mendatangi
Indonesia pada tahun 1992. Wanita mungil ini amat ramah dan rendah hati. Tak
berhenti berterima kasih karena sudah diterima dan diizinkan mendaki Cartenz
Pyramide. Setelah pendakian itu, ia menjadi Seven Summiter pertama di dunia –
wanita pertama yang mendaki tujuh puncak tertinggi di tujuh benua. Menjadi
orang ke 36 mendaki Everest dan Seven Summiter wanita pertama membuat Junko
amat popular dan dihormati. Lagi-lagi, Junko melakukan penyesuaian meski sebenarnya
ia tidak pernah menyukai popularitas dan tanggungjawab yang mengikuti
popularitas itu. Setelah ekspedisi Everest, Junko menolak sponsorship. “Sponsorship
membuat saya merasa mendaki tidak untuk diri saya sendiri. Membuat saya merasa
bekerja untuk perusahaan pemberi dana,” ujarnya.
Kini Tabei aktif mengajarkan pentingnya kelestarian alam dan
tetap bersemangat mendaki. Mendorong kaum wanita muda Jepang untuk menggapai
impian dan cita-cita mereka. Tapi, betapapun hebat pencapaiannya, di rumah,
Junko adalah istri dan ibu. Manasobu, sang suami berujar kalau ia bisa saja
menghapus semua impian Junko bertahun-tahun lalu. “Ia akan menurut. Percayalah,
ia akan menurut dan menjadi ibu rumah tangga biasa,” ujarnya. “Tapi justru karena
ia akan menurut yang membuat saya yakin ; ia harus menggapai impiannya!” Manasobu
juga menolak anggapan kalau ia seorang suami yang sangat baik dan pengertian. “Bukan
soal itu,” ujarnya. “Ini soal ketulusan pada takdir dan hakikat diri kita.” Ia
mengatakan bahwa kehebatan Junko adalah kemampuannya dan kemauannya untuk
menyesuaikan di diri di saat yang tepat. “Setelah membuktikan bahwa ia istri dan ibu
yang baik, menjadi kewajiban saya untuk mendorongnya menggapai impiannya! Itu
naluriah!”
Sang putri, Noriko, berujar singkat soal ibunya, “Sebenarnya,
ia bukan pendaki gunung. Ia seorang ibu!” Bagaimana tidak. Pertama kali mengajak
Noriko dan adik laki-lakinya, Shinya, mendaki gunung, yang pertama kali
diucapkan Junko adalah, “Di gunung, nak… tidak ada toko makanan kalau kalian
lapar!” Lalu? “Ia memasak saat waktu
makan dan menyuruh kami menghabiskan makanan kami tanpa sisa,” ujar Noriko sambil tertawa. “Kami katakan ; baik ibu! Tidak ada toko
makanan kalau bekal kita habis!”