Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Senin, 24 Oktober 2011

MENCINTAI DAN MENGERTI

Ada perbedaan besar antara mencintai dan mengerti.

Dan, serius, ini penting karena keduanya saling berhubungan dalam sebuah proses yang bisa rumit bisa sederhana. Saya tidak bicara dalam konteks dua manusia ; pria dan wanita. Saya bicara dalam konteks dunia saya ; pendaki gunung dan alam.

Entah berapa belas kali saya mendapat ajakan untuk kegiatan-kegiatan pelestarian alam oleh komunitas-komunitas pencinta alam. Sebuah niat baik. Diejawantahkan dalam bentuk yang baik juga. Namun, sejak lama, saya merasa bahwa seringkali itu semua sia-sia. Tentu saja, sia-sia bukan dalam artian tak berguna sama sekali, tapi sia-sia karena kegiatan itu terlalu naif untuk dilakukan oleh manusia-manusia yang mengklaim sangat dekat dengan alam, mencintainya sampai mati dan seterusnya. Semuanya membuat saya berpikir nakal bahwa jangan-jangan, cinta para pendaki gunung pada alam hanya sebuah birahi yang menuntut pemuasan ; jalan setapak bersih, puncak tanpa sampah dan... selesai! Yang mereka butuhkan adalah alam yang terlihat cantik dan lestari. Agar mudah ereksi.

Ada perbedaan besar antara mencintai dan mengerti.

Gunung, sebagai bentukan alam memang sudah sejak lama menarik perhatian dan keingin-tahuan manusia. Itu yang membawa manusia ke setapak gunung, punggungannya, lalu ke puncaknya. Manusia mendaki gunung, ujar Zen Master Futomaki, bukan untuk mencari pencerahan. Manusia mendaki gunung karena sudah mendapat pencerahan. Dan pencerahan itu seringkali berupa kesadaran sederhana bahwa hidup ini seringkali terlaksanakan maknanya, papar Geoffrey Winthrop Young, dalam kegiatan yang sepertinya tanpa guna. Dan itu acapkali benar. Manusia pendaki gunung selalu mengklaim bahwa mereka menemukan kemanusiaannya kembali di tengah alam liar. Sebuah guna yang bersifat pribadi. Padahal bagi manusia lain, kegunaan itu harus kasat mata. Apa sih guna mendaki gunung? Apa dunia berhenti berputar jika tidak ada pendaki gunung. Kiamat? Hhah... siapa elu!

Kesadaran akan eksistensi memaksa para pendaki gunung - sadar atau tidak - untuk membawa dunianya ke ranah-ranah publik. Agar bisa dikenali. Dimengerti dan pada akhirnya, diakui dan dihormati. Ini sah-sah saja. Memaksa semua manusia untuk mencicipi nikmatnya mendaki gunung, memang tidak mungkin. Namun membuat mereka melihat bahwa kegiatan ini memiliki guna, mungkin bisa memberi peluang agar kegiatan ini tidak lagi dianggap sebagai sebuah kegiatan mubazir. Anda pasti sudah belasan kali mendengar kalimat ini ; ngapain juga mendaki ke puncak, kalau nanti mesti turun lagi? Jangan anggap remeh pertanyaan ini. Ia, pertanyaan ini, sudah ada sejak awal manusia bersikukuh mendaki puncak-puncak dunia.

Maka beragam kegiatan dilakukan untuk menarik perhatian. Ada yang ekstrim. Ada yang justru hura-hura. Bukan berita lagi jika suatu kali Anda menyaksikan ratusan pendaki berangkat bersama-sama untuk melakukan operasi bersih. Jargonnya, entah kenapa, sama saja ; kelestarian alam. Seolah-oleah kelestarian alam hanya sebatas bungkus Supermi, havermouth, kaleng sardin atau bungkus rokok. Dan yang membuat saya makin - maaf, mual, adalah kenyataan bahwa para pendaki ini seringkali akhirnya terjebak dalam kesadaran seperti itu ; kami pendaki gunung, kami mendaki, membawa sampah, lalu kami mendaki lagi dan membersihkannya. Nah, sekarang Anda lihat kan, kami ini mencintai alam!

Astaga!

Okelah! Maafkan kepicikan saya, jika itu yang ada dalam pikiran Anda. Sebab, saya tidak mengatakan semua kegiatan itu omong kosong. Ada manfaat yang ditangguk. Salah satunya adalah memupuk tanggungjawab dan kepekaan sosial. Saya hanya mendendam pada keadaan bahwa kita seringkali menganggap apa yang sudah kita lakukan cukup dan berpuas diri di situ. Saya hanya mengutuk pada kesadaran bahwa kita ini penuntut kebebasan paling berisik di dunia, namun dengan rajin dan metodis membatasi semua tanggungjawab yang lantas lahir dari tiap kata kebebasan yang kita koarkan!

Dulu, ada seorang senior pendaki - termasuk satu dalam daftar pendek pendaki yang paling saya hormati - yang entah mengapa selalu menolak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan seperti ini. Ia selalu mencibir sinis. Dan itu membuat saya heran. Jadi saya putuskan untuk mencari jawaban. Awalnya, semua alasannya sungguh tidak masuk akal. Namun ada sebuah kalimat yang diucapkannya dan hingga kini terpendam dalam nurani saya ; "Ada perbedaan antara mencintai alam dengan cara-cara bodoh dan mengerti bahwa alam membutuhkan kesmpatan untuk memiliki kebebasannya sendiri, agar ia bisa terus hidup. Bisa terus ada!"

Mengerti maksudnya?

Saya baru paham ketika seorang pejuang suku Ayamaru di Kepala Burung, dengan santai melepas seekor cendrawasih yang entah mengapa masuk ke honainya. "Ia bagian dari alam. Dan alam tidak pernah cocok menjadi bagian dari hidup manusia," ujarnya. Saya langsung mengerutkan kening. "Bukankah manusia juga bagian dari alam?" tanya saya. "Ia tertawa. "Sejak kapan?" balasnya dengan nada mengejek. "Sejak mesin-mesin gergaji itu kalian bawa ke pinggiran hutan? Atau sejak rumah-rumah batu kalian dirikan di lembah dan bukit-bukit?"

Bahkan seorang Ayamaru bisa paham dengan jernih korelasi hakiki antara alam dan manusia yang justru baru ditemukan manusia modern belum lama ini. Korelasinya sederhana ; manusia dan alam itu seperti sisi mata uang. Namun karena manusia diberkahi sebuah program maha dahsyat dari Sang Maha Programer, program bernama Akal (Inside), maka manusia memikul kewajiban untuk menjaga agar mata uang itu tidak jatuh ke salah satu sisi. Caranya mudah ; putarkan saja mata uang itu. Keseimbangan terjadi dan hidup pun akan berjalan dengan indah. Namun ketika satu sisi itu mencoba untuk lebih luas, lebih besar, lebih berat dan seterusnya, dari sisi lainnya... keseimbangan hilang. Anda tentu tahu apa yang terjadi seterusnya.

Dan - ini bagian paling menyebalkan - keseimbangan itu telah lama hilang! Sisi manusia di mata uang itu telah jauh lebih besar, lebih luas, lebih berat dari sisi alam. Mata uang itu kini berhenti berputar dan sisi alam berada di bagian tak terlihat. Tertutup, tertekan sisi lainnya - terengah-engah mencari udara untuk tetap hidup.

Bagaimana bisa? Jawabannya juga sederhana ; manusia itu berkembang biak! Dan itulah masalah terbesarnya ; manusia berkembangbiak sementara alam tidak! Jadi, wajar saja jika tidak butuh waktu lama bagi manusia untuk mulai melakukan keahliannya yang paling utama ; merusak. Mungkin awalnya tidak bermaksud begitu. Sebab bagaimanapun, manusia punya cacatan sejarah maha panjang tentang bagaimana mereka hidup berdampingan dengan alam dalam harmonisasi dan keseimbangan yang menentramkan. Namun desakan kebutuhan akhirnya memaksa manusia untuk sedikit demi sedikit melanggar batas keseimbangan itu. Jadi jangan heran jika aktivis pelestaraian alam paling radikal pun bisa kehilangan kata-kata ketika berhadapan langsung dengan manusia yang memang merusak alam untuk sekedar bertahan hidup ; peladang tanpa lahan atau petani garapan. Mereka ini merusak dengan sadar ; saya lapar dan saya butuh sesuatu untuk saya makan! Anda punya makanan? Maukah Anda membaginya dengan saya, istri saya, anak-anak saya?

Tentu saja selalu ada manusia yang melihat kondisi ini dengan kacamata berbeda ; keuntungan pribadi. Dan yang seperti ini memang layak diperangi! Sampai jadi arang kalau perlu! Namun, itu tetap tidak akan menyelesaikan masalah utama ; populasi manusia yang terus membesar. Dengan cepat. Hampir tak tertahankan. Masalah-masalah seperti itu akan selalu ada. Seperti panu yang muncul lalu menyebar ke seluruh tubuh. Masalahnya bukan kulit atau obat! Masalahnya adalah Anda mungkin menggunakan air yang salah untuk mandi, mencuci makanan atau pakaian. Masalahnya adalah Anda tidak bersih!

Jadi masalah kelestarian alam bukanlah masalah sampah atau berapa banyak pohon yang ditebang tiap hari. Percayalah, sampah bisa dihancurkan dan pohon masih bisa tumbuh. Masalah kelestarian alam adalah masalah keengganan kita untuk mengakui kenyataan menyakitkan bahwa eksistensi manusialah penyebab hancurnya alam. Keberadaan dan perkembangan jumlah manusialah masalah intinya. Makin banyak manusia, makin hancurlah alam!

Saya tidak mengatakan bahwa manusia tidak berhak ada atau hidup. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan salah mengambilkan keputusan ketika Ia menurunkan manusia ke dunia. Tapi, saya juga kerap bertanya-tanya ; Tuhan itu kan Maha Pencipta ya? Mengapa sih, Ia tidak menurunkan kita di planet yang bisa tumbuh membesar juga? Mengapa Ia tidak menurunkan kita di planet seperti kata James Lovelock dalam Hipotesis Gaia-nya ; bumi adalah organisme yang hidup - jadi bumi bisa membesar sesuai kebutuhan jumlah penghuninya? Toh, itu soal mudah untukNya!

Namun, tidakkah itu semua juga memberi kita kesadaran bahwa apapun dalam hidup ini ternyata ada batasnya! Mungkinkah itu juga berlaku bagi perkembangan jumlah manusia? Atau kita hanya akan membiarkan semuanya sampai akhirnya jumlah itu terlalu banyak untuk diterima lantas kematian mengerikan membinasakan kita dengan beragam cara ; genocide dan perang untuk memperebutkan sumberdaya yang tersisa? Kemudian apa yang tersisa? Sumberdaya yang juga tidak lagi bisa diperbaiki? Jadi apa untungnya menang? Saya kerap bertanya-tanya...

Sekali-sekali, coba Anda tanyakan pada para pendaki gunung, pencinta alam, sukarelawan penanaman pohon dan apalah namanya, mengapa mereka melakukan semua itu? Jawabannya - panjang atau pendek, pasti dihiasi kata mencintai alam, melindungi alam, melestarikan alam! Tidak ada seorangpun yang mengatakan ; saya menanam dan memunguti sampah karena saya ingin mengerti!

Mengerti maksud saya? Syukurlah! Kini - jika mau - Anda hanya harus belajar mencintai. Dengan benar. Sebab, menurut saya, ada perbedaan besar antara sekedar mencintai dan mengerti mengapa mesti mencintai. Dan itulah yang kelak akan saya katakan jika putri saya akan mencoba mendaki gunung ; Nak, pertama-tama, mendakilah karena kau ingin belajar mengerti dan mencintai Tuhan! Sebab Dialah Sang Maha Alam! Setelah itu... usahakan tidak punya anak terlalu banyak!
















Jumat, 21 Oktober 2011

SAWANOBORI ; AGAINTS ALL ODDS!

Masih ingat aturan pertama saat tersesat ketika turun gunung? Ya, jangan mengikuti aliran sungai. Sebab, ujar almarhum Norman Edwin dalam buku mahsyurnya Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan ; Kalau terpaksa keluar dari lintasan yang ada, selalu jalan di atas punggung-punggung gunung. Hindari jalan di ceruk-ceruk atau mengikuti sungai-sungai di bawah punggung gunung. Sungai memang nampaknya menunjuk arah yang gampang dilalui untuk ke bawah, tetapi mengikutinya berbahaya sekali. Sungai-sungai di gunung seringkali berupa tebing-tebing curam dan membentuk air terjun, sehingga sukar dituruni tanpa alat-alat khusus. Banyak kecelakaan yang dibuat seorang pendaki pemula karena kesalahan mengikuti sungai di gunung.

Tentu saja, pendaki berpengalaman akan bersikap kritis soal ini. Dan seperti nya, almarhum juga paham dan tidak lantas menjadikan kalimatnya sebagai kredo mati. Sebab, misalnya, bagaimana kalimat itu disikapi di sebuah big-snow-mountain seperti gunung-gunung di pegunungan Himalaya? Atau, apakah kalimat itu juga berlaku bagi sekelompok pendaki gunung yang tersesat namun membawa perlengkapan sangat memadai? Jadi, Anda tentu saja boleh mengambil kesimpulan sendiri.

Yang jelas bukan soal turun gunung mengikuti sungai yang ingin saya bicarakan. Namun, kebalikannya ; mendaki gunung mengikuti aliran sungai!
Ini memang cabang mendaki gunung yang belum populer di Indonesia. Padahal di negara asalnya, Jepang, mendaki gunung lewat jalan setapak biasa dianggap turist activity. Para pendaki gunung Jepang mengenal cabang ini, SAWANOBORI. Sawa, artinya gunung. Selain di Jepang, Sawanobori juga popular di Taiwan dan Hongkong. Bagi penggila Sawanobori, Jepang dan Taiwan adalah Himalaya mereka.

Sekarang, kembangkan imajinasi Anda!

Sebuah sungai, di gunung tropis. Aliranya deras,dingin, lembab, genit meliuk-liuk melewati medan yang dihampari bebatuan beragam ukuran. Terkadang, ya… membentuk air terjun. Atau celah tebing batu. Dan Anda, harus berjalan melewati itu semua – sambil membawa ransel berisi semua peralatan mendaki yang biasa Anda bawa - hingga menemukan titik sumber air sungai itu.

Sounds crazy? Nope! Sounds like adventure!

Pikirkan ini : River trekking is a combination of trekking and climbing and sometimes swimming along the river. It involves particular techniques like rock climbing, climbing on wet surfaces, understanding the geographical features of river and valleys, knotting, dealing with sudden bad weather and finding out possible exits from the river. – Wikipedia.(Menjelajah sungai adalah kombinasi penjelajahan dan pendakian serta kadang-kadang berenang sepanjang sungai. Mencakup teknik-teknik panjat tebing, memanjat di bidang basah, pemahaman medan dan bentukan sungai serta lembah, tali-temali juga berhadapan dengan perubahan cuaca mendadak serta menemukan jalan keluar yang paling memungkinkan dari sungai)

Jadi, pertama-tama, Anda akan basah kuyup! Di kota yang telanjang dari sengatan matahari, debu-debu dan asap sisa pembakaran kendaraan bermotor, basah kuyup oleh air dingin bisa terasa menyenangkan. Di pegunungan atau dataran tinggi, basah kuyup bisa menjadi pembeda antara hipotermia dan sehat wal afiat. Jadi, Sawanobori adalah sebuah bentuk ekstrimitas dari konsep mendaki gunung pada umumnya. Sebuah konsep yang mengangkangi aturan-aturan baku mendaki gunung ; againts all odds!

Tentu saja, ekstrimitas tidak selalu buruk. Toh, para pelaku Sawanobori justru lebih ketat menerapkan standar keselamatan dan keamanan. Di Jepang, sebuah aturan biasa bagi klub-klub Sawanobori untuk mengeluarkan izin bagi setiap perjalanan yang dilakukan anggotanya. Bahkan jika perjalanan itu hanya memakan waktu satu hari tanpa menginap. Jika tidak, Anda akan melakukan Sawanobori sendirian sepanjang hidup Anda, karena klub Anda akan mengeluarkan informasi yang membuat Anda dikenal sebagai pegiat Sawanobori yang tidak patuh pada standar keamanan dan keselamatan. Anda juga akan dicekal – tidak diizinkan melakukan Sawanobori di manapun di Jepang Berlebihan? Silahkan perdebatkan sendiri. Yang pasti, Sawanobori memang menyodorkan tantangan yang tidak bisa dihadapi dengan kalimat sederhana macam kalimat yang sering diucapkan para pendaki gunung, “Naik gunung yuk! Berangkaaat…”

Selain air dan basah kuyup, Sawanobori menghadirkan bahaya lewat curamnya medan. Hamparan batu-batu, membuat Anda harus menggunakan semua anggota badan untuk melaluinya. Itu jika medannya masih bisa dilalui dengan kaki. Ketika sungai mendadak terhenti oleh tebing tinggi, Anda membutuhkan lebih dari sekedar berjalan dan merangkak serta anggota tubuh. Anda membutuhkan keterampilan memanjat tebing (yang pasti basah) dan peralatan yang baik. Jadi, ini memang bukan sebuah petualangan asal jalan. Ini sebuah kegitan yang membutuhkan perencanaan matang ; kesiapan mental fisik, riset medan, perencanaan rute, emergency scenario, perencanaan dokumentasi dan seterusnya. Tanpa itu, Anda hanya akan berbasah-basah tanpa tujuan - padahal mandi (di WC umum pun) punya tujuan sederhana membersihkan badan.

Sawanobori di Indonesia
Di Jepang dan Taiwan, Sawanobori menjadi kegiatan popular yang dipilih para pendaki gunung yang membutuhkan tantangan lebih besar, namun bisa dilakukan dengan waktu relatif lebih singkat dan biaya yang juga relatif lebih murah – dibandingkan harus trekking di Kanchenjunga, misalnya. Jepang dan Taiwan memang memiliki kontur pegunungan yang dihiasi banyak aliran sungai, besar, sedang dan kecil. Debit airnya relatif stabil namun bisa berubah dengan cepat.

Kontur pegunungan dan gunung-gunung di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda. Malah ada beberapa kelebihan, misalnya udara dan cuara yang relatif lebih hangat. Di Jepang yang lebih dingin, salah satu peraturan standar bagi para pelaku Sawanobori adalah memakai pakaian anti-basah. Kelebihan lain, sungai-sungai di Indonesia banyak yang belum dijelajahi dengan teknik ini. Jadi, kemungkinan untuk menemukan keindahan dari keaslian sungai, masih sangat besar. Poin keindahan dan keaslian ini penting. Siapa tahu bisa dijual untuk petualangan wisata. Selain itu, Sawanobori juga memungkinkan para pegiat alam bebas belajar memetakan sungai di gunung-gunung. Ini bisa menjadi informasi yang penting dan berharga untuk tujuan konservasi, SAR dan itu tadi... jualan wisata.

Jadi, tantangan saya untuk Anda setelah mencicipi Sawanobori adalah bagaimana mempopulerkan kegiatan ini secara positif ke komunitas pegiat alam bebas. Agar mereka lebih mengenal sungai sebagai sebuah ekosistem yang unik. Agar mereka bisa lebih mencintai dan – lebih penting lagi – menghormatinya (sebelum sungai-sungai itu masuk kota dan dijejali sampah). Sebab, selama ini, selain untuk arung jeram, sungai-sungai kita lebih sering dijadikan tempat untuk merendam calon anggota baru klub-klub pegiat alam bebas. Itu pun sambil diomelin! (Photo:Peek)


Kamis, 20 Oktober 2011

BECAUSE IT’S THERE!

Eastern Col, 1922.

Para pendaki menunduk pasrah. Sementara para Sherpa terus menggumamkan doa. Beberapa teman mereka tersapu longsoran salju dan ekspedisi dibatalkan. Semua bersiap kembali ke peradaban.

Seorang pendaki, untuk terakhir kali menatap gunung di depannya dengan mata yang memancarkan pandangan aneh ; geram, mungkin juga dendam. Setahun sebelumnya, ia berhasil menemukan jalan menuju puncak lewat punggung utara. Saat itu, beberapa Sherpa juga tewas tersapu salju. Sekarang, gunung itu kembali mengusirnya. Saat itulah, ia bersumpah dalam hati, “Aku akan menjadi orang yang pertama berdiri di puncaknya, atau mati dalam usahaku!” Ia lantas membalikan tubuhnya dan melangkah pergi.

Gunung dibelakang punggungnya tetap berdiri angkuh. Seolah tak peduli. Puncaknya yang tersaput awan seolah mengejek. Orang-orang China menyebut gunung itu Chomolungma, seperti orang-orang Tibet memanggilnya. Dunia mengenalnya dengan nama Everest. Puncak dunia!

Pendaki itu, George Leigh Mallory, lantas mengundang perhatian dunia. Kegagalan dua kali di gunung yang sama ; gunung tertinggi yang sudah setengah abad ditemukan. Para jurnalis berebut mendapat pernyataan. Dikenal sebagai seorang sedikit eksentrik, Mallory dengan cepat menjadi terganggu. Terutama ketika kerap ia dicecar soal alasannya mendaki Everest. “Because it’s there!” teriaknya kesal. “Karena ada gunung di situ!”

Dua tahun kemudian, Mallory kembali. Saat waktunya summit attack, ia mengambil keputusan aneh ; memilih Andrew Irvine, pendaki terkuat sekaligus paling tidak berpengalaman sebagai climbing partnernya. Mereka mendaki dengan pasti dan terakhir terlihat di ketinggian 8.400-an meter dari permukaan laut. Edward Nortonlah saksinya. Ia sanggup mendaki sampai ketinggian 8.570 meter dari permukaan laut tanpa tabung oksigen sebelum menyerah. Saat perjalanan turun mereka bertemu. Setelah itu, tak ada kabar lagi dan misteri terbesar pendakian gunung pun dimulai : bagaimana mereka mati? Apakah mereka sampai ke puncak? Tubuh Mallory baru ditemukan pada 1999 setelah National Geographic mengadakan ekspedisi untuk menjawab teka-teki itu. Ternyata Mallory dan Irvine, tidak pernah sampai ke puncak.

Mengapa mendaki gunung?

Mengapa? Tidakkah kota sudah menyediakan segalanya?

Tidak juga!

Bagi Anthoinne de Ville, mendaki gunung adalah bukti kesetiannya pada Raja, Karel VII. Sang raja – seperti kebanyakan pemimpin dewasa ini, punya keinginan aneh ; membuat es krim dari salju Mont Aiguille, gunung di kawasan Vercors Massif yang tingginya 2.097 m.dpl. Sementara bagi Profesor Horace-Benedict de Saussure, Mont Blanc adalah kecintaannya. Ia amat ingin bisa melakukan penelitian di puncak yang tingginya 4.807 m.dpl. Jadi, ia membuat sayembara ; siapa yang bisa menemukan jalur ke puncak untuk didaki olehnya, sejumlah uang disiapkan. Tahunnya tercatat 1760. Tak ada yang bersedia. Saat itu, konon, masih ada naga di puncak-puncak gunung.

Baru tahun 1786, setelah beberapa percobaan gagal, puncak Mont Blanc, akhirnya berhasil digapai manusia. Mereka adalah Dr. Michel Gabriel Paccard dan seorang pemandu gunung, Jacquet Balmat. Ini pun bukan tanpa kontroversi. Paccard dipuja setengah mati. Padahal, sebagian besar orang percaya, Balmatlah pahlawan sesungguhnya. De Saussure sendiri berhasil mendaki Mount Blanc setahun kemudian.

Terpesona oleh keagungan dan kemashyuran puncak-puncak Eropa, Edward Whymper – seorang tukang kayu muda ambisius dari Inggris yang bermimpi menjadi penjelajah Artik, mendatangi Matterhorn di Alpen Pennina, Swiss. Ia memandang Matterhorn yang tingginya 4.476 m.dpl sebagai peluang untuk mencetak tinta sejarah. Ia menggandeng seorang pendaki lokal berpengalaman JA Carrel. Di bagian akhir, Carrel diam-diam mengikat janji dengan tim pendaki Italia yang bermaksud sama. Marah karena merasa dikhianati, Whymper bergabung dengan Lord Francis Douglas, bangsawan kaya raya yang bermaksud sama. Mereka lantas menerima ajakan bergabung dari dua pendaki amatir, Douglas Hadow dan Charles Hudson. Bersama mereka, ada penunjuk jalan kawakan dari Chamonix, Michel Croz dan dua pembawa barang, Peter Tougwalder dan putranya Peter Tougwalder Jr.

Matterhorn berbaik hati. Puncak berhasil didaki. Whymper dan Francis Douglas bersuka cita. Saat perjalanan turun, Hadow terpeleset. Ia menimpa Croz yang menyeret Francis Douglas dan Hudson. Whymper dan kedua Tougwalder berjuang sekuat tenaga namun tali serat alam yang mereka pakai ternyata tali tua yang tak lagi sanggup menahan beban berat. Keempatnya pun terseret gravitasi, terhempas ribuan meter ke kaki gunung. Dan sebelas tahun masa keemasan pendakian gunung pun berakhir. Ratu Victoria bahkan melarang kegiatan mendaki gunung di Inggris. Baginya, mendaki gunung adalah “Kegiatan orang sinting di suatu tempat yang kejam!”

Tapi, tidak ada yang bisa menghentikan semua itu. Tidak ada. Satu demi satu, puncak-puncak tempat yang kejam itu didaki.

Jadi, sekali lagi, mengapa mendaki gunung?

Kebanyakan berpikir soal ketinggian. Namun ini sama sekali tidak benar. Sebab, setelah Mount Everest, gunung yang membunuh Mallory akhirnya didaki Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 1953, pendakian gunung tetap tidak berhenti. Rupanya, alasan mendaki gunung ternyata lebih dari sekedar kesetiaan de Ville, kecintaan de Saussure, kemasyhuran Whymper atau ambisi dan obsesi pribadi Mallory. Lebih dari itu.

Mendaki gunung adalah soal kesadaran mencari jawaban.

Pertanyaannya (lagi) adalah ; mencari jawaban apa?

Di titik inilah mendaki gunung menjadi soal pribadi. Terlalu pribadi, malah. Terlalu pribadi karena jawaban soal apa dan siapa memang hanya bisa dijawab seorang manusia oleh keputusan dan tindakannya sendiri. Bahkan ketika konsekuensinya adalah bahaya. Pertanyaan itu juga terlalu kuat karena akhirnya keselamatan menjadi hal yang diletakan pada urutan kesekian. Pertanyaan-pertanyaan
pribadi ini, bila terjawab – Anda yang tidak pernah mendaki gunung, akan sulit memahaminya – melahirkan kepuasan luar biasa. “Mountaineering is better than sex!” kata seorang pendaki kawakan berusaha membandingkan.

Ini memang selalu bisa diperdebatkan. Namun, jangan memperdebatkan bahaya dan keselamatan karena para pendaki gunung akan ganti mencibir. Bahaya ada dimana-mana. Jadi, keselamatan itu sebuah konsep yang amat rapuh. Bahaya mengintai setiap hari dan itu berarti keselamatan dipertaruhkan tiap hari pula. Jadi bahaya mendaki gunung tidak ada bedanya dengan bahaya melaju kencang 200 kilometer per jam di jalan raya dengan Ferrari Testarosa.

Pendaki gunung menjalani hidupnya bukan karena ia tak peduli pada bahaya atau keselamatan. Mereka hanya tidak ingin terkukung pada ketakutan dan merelakan hidupnya untuk melakukan hal-hal biasa. “Hidup,” ujar Budi Laksmono, pengarung jeram Mapala UI yang tewas di Sungai Alas, “… harus lebih dari sekedarnya.” Lebih dari sekedar lahir, tumbuh, sekolah, bekerja, menikah, bekerja, memiliki anak, bekerja, pensiun lalu mati. Tidak, ujar para pendaki gunung dan petualang alam bebas lain. Hidup terlalu luar biasa. Hidup tidak boleh hanya seperti itu!

Apakah hidup secara biasa salah?

Tentu saja tidak! Ini, sekali lagi, soal pilihan. Namun, banyak pepatah dengan jelas mengatakan betapa hidup sebenarnya adalah sebuah pendakian yang utama ; mereka yang enggan mendaki, akan berada di dasar lubang selamanya. Jadi, mendaki gunung mungkin sebenarnya sebuah cermin besar bagi pelakunya untuk melakoni hidup dengan lebih sederhana dan rendah hati. Atau mungkin juga hanya sebuah pilihan agar hidup sedikit lebih menarik. Untuk yang terakhir itu, Anda punya banyak pilihan.

Akhirnya, Mallory bisa jadi benar. Because it’s there!

Jawaban itu bisa cukup. Bisa juga tidak.

Yang pasti, jika terbukti puncak-puncak dunia satu demi satu terdaki, semuanya adalah bukti soal keberanian, kegigihan dan ketabahan manusia.




The mountains tell you, quite ruthlessly, who you are, and what you are.
Mountaineering is a game where you can’t cheat…
(Gunung mengajarkan Anda, dengan cara yang seringkali brutal, siapa Anda dan mahluk apakah Anda. Mendaki gunung adalah permainan dimana Anda tidak bisa curang…)


Reinhold Messner

(dari Buku Panduan CADWIPALA SMA Negeri 42 Jakarta)

POPULASI DAN KONSERVASI ATAU GIGIT JARI

Ini sungguhan!

Dan kalimat seterusnya pun sungguhan : semuanya berawal dari masalah populasi!

Mari siapkan waktu – sekitar 30 detik, atau lebih jika Anda mau – untuk membayangkan ini ; sebuah dunia, planet, bernama bumi, dimana semua daratannya berupa padang pasir atau bentangan tanah tandus. Semuanya!

Mengerikan? Tentu saja.

Lalu – ini lebih mengerikan – bayangkan apa yang terjadi pada mahluk-mahluk hidup penghuni bumi yang kita tahu. Apa yang terjadi pada mereka jika bumi hanya sebuah planet kering kerontang tanpa sebatang pohon pun? Apa?

Tidak ada yang terjadi!

Kenapa?

Karena semua mahluk hidup sudah punah lebih dulu!

Nah, yang terakhir ini lebih mengerikan ; semua bayangan itu tidak mustahil terjadi!

Al Gore, mantan wakil presiden AS, penerima Nobel dan konservasionis yang – diakui atau tidak – elegan itu, mengeluh dalam sebuah seminar yang dihadirinya. “Saya,” ujarnya lirih, “… sedih setiap kali diundang seminar soal lingkungan hidup dunia.” Ia menatap peserta acara dengan pandangan sayu. “Terlalu banyak fakta tentang kerusakan mengerikan yang saya miliki dan catat, namun terlalu sedikit waktu yang saya punya untuk membeberkannya pada Anda!”

Waktu, kerusakan dan… Anda semua. Kita.

Inilah masalah lingkungan hidup sekarang ini.

Waktu mengisyaratkan betapa masalah lingkungan hidup muncul lalu terjadi dengan cepat. Teramat cepat. Sementara upaya menanggulanginya justru berlangsung lambat. Sementara kerusakan mengabarkan soal betapa rapuhnya system lingkungan hidup di bumi ini sehingga satu kerusakan memicu kerusakan lainnya.

Lalu Anda semua? Kita? Apa peran kita? Dosa kita? Relevansi kita sebagai bagian dari lingkar-kehidupan ini?

Semuanya!

Bagaimana bisa? Bacalah lagi kalimat di atas tadi ; semuanya berawal dari masalah populasi!
Ini memang sebuah dilema! Di satu sisi, berkembang-biak adalah hak dasar semua mahluk hidup. Di sisi lain, perkembangbiakan membutuhkan sumberdaya – yang sialnya – tidak semua bisa diperbaharui.

Jika Anda pintar, inilah jawaban dari pertanyaan kebingungan kita mengapa masalah lingkungan hidup seperti lingkaran setan ; tidak berujung, berulang-ulang dan membesar! Berulangkali kita melihat kesalahan demi kesalahan dilakukan. Terus menerus. Dengan motivasi yang jelas atau kabur, semuanya berujung pada kenyataan bahwa manusia, dalam soal yang satu ini, seperti mahluk paling bodoh yang bertindak layaknya hewan.
Dan itu tidak sepenuhnya salah. Sebab, bahkan hewan pun berhak berkembang biak!

Maka, lupakan politik, hukum, ekonomi atau budaya dan tetek bengek lainnya. Itu semua cuma bingkai! Batasan yang justru mengikis kesadaran paling mendasar soal masalah terbesar peradaban umat manusia ini. Sayangnya, para konservasionis – yang paling berani sekalipun – kerap terjebak dalam idealisme perjuangannya lalu meneriakan bingkai-bingkai tadi meski mereka mahfum tidak akan ada perubahan!

Jadi inilah yang dibutuhkan umat manusia untuk menghadapi kiamat yang sedang tanpa sadar kita ciptakan sendiri ; kejujuran!

Kejujuran untuk menerima kenyataan bahwa masalah lingkungan hidup adalah sebuah masalah yang sering dipahami dengan salah! Setelah itu, kita butuh keberanian untuk mengambil tindakan yang jelas-jelas mengangkangi hak dasar kita sebagai mahluk hidup ; mengontrol atau – lebih ekstrim lagi – menekan hingga titik terendah perkembangan populasi kita.

Hanya dengan cara itu, bumi memiliki kesempatan untuk menarik napas panjang, sementara pada saat yang bersamaan, manusia melakukan konservasi pada sumberdaya-sumberdaya yang masih bisa dipertahankan dan diperbaharui dengan cepat. Lalu, menyusun dan meletakkan kembali dasar dan cara pandang kita sebagai mahluk paling dominan di rantai makanan planet ini terhadap hak, kewajiban dan gaya hidup kita.

Sebuah pengorbanan besar. Sebuah global-sacrifice!

Tapi ini perlu dilakukan, walaupun hampir tak ada konservasionis yang berani meneriakannya pada dunia, ini tetap harus dilakukan.
Sebab inilah keadilan terbesar yang bisa dipersembahkan manusia pada hidupnya.

Pengorbanan ini harus dilakukan setelah semua kenyamanan dunia yang Anda nikmati tanpa merasa berdosa karena Anda terlalu – maaf - bodoh, naïf, apatis dan merasa berhak! Atau, anak dan cucu Anda akan menggigit jari mereka – untuk menahan lapar dan melampiaskan rasa benci sebelum mengutuki Anda – sebab tak ada lagi sumberdaya yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup. Jika Anda terlalu bebal, egois dan enggan meninggalkan kenyamanan-kenyamanan yang seringkali berlebihan itu, tidakkah lebih baik Anda meminta maaf pada mereka sekarang? Pandanglah mata mereka dan katakan, “Maaf, sepertinya hanya neraka yang bisa saya wariskan pada kalian semua!”

Terlalu ekstrim?

Ah, kalau saja Anda tahu berapa banyak kerusakan mengerikan seperti yang Al Gore tahu, ekstrim tidak ada relevansinya!




Hutan ada sebelum peradaban.
Padang pasir… sesudahnya!

Chateubriand


(dari BUKU PANDUAN CADWIPALA SMA Negeri 42 Jakarta)

RADANG DINGIN

Radang dingin – congelatio, terjadi ketika jaringan tubuh membeku. Kondisi ini terjadi ketika bagian tubuh terkena suhu di bawah titik beku kulit. Hipotermia adalah kondisi penurunan suhu tubuh. Radang dingin dan hipotermia adalah dua gejala terkait dengan suhu dingin.

Radang dingin telah lama diketahui. Sebuah mumi berumur 5000 tahun pra-Columbus yang ditemukan di pegunungan Chili memberi bukti terdokumentasi dari pengetahuan awal soal radang dingin. Dokter bedah umum Napoleon, Baron Dominique Larrey, memberikan gambaran pertama dari mekanisme radang dingin pada tahun 1812 selama proses mundur tentara Napoleon dari Moskow. Larrey juga mencatat efek berbahaya dari siklus beku-mencair yang dialami oleh tentara yang menghangatkan tangan dan kaki dingin mereka di atas api unggun pada malam hari hanya untuk membeku kembali pada bagian yang sama pagi berikutnya.

Meskipun radang dingin kerap identik sebagai masalah militer, kini radang dingin menjadi masalah warga sipil juga. Hidung, pipi, telinga, jari tangan dan jari kaki – ekstremitas : bagian-bagian tubuh yang terjauh dari jantung – adalah anggota tubuh yang paling sering terkena. Setiap orang rentan terkena gejala ini bahkan orang yang telah tinggal di iklim dingin untuk sebagian besar hidup mereka. Beberapa kelompok orang yang paling berisiko terhadap radang dingin dan hipotermia termasuk :
• Individu yang menghabiskan banyak waktu di luar rumah seperti seperti tunawisma, pendaki gunung, pemburu dan lainnya.
• Individu yang berada di bawah pengaruh alkohol,
• Individu lanjut usia tanpa pakaian, makanan, tempat tinggal dan pemanas yang memadai
• Individu yang mengalani lelah berlebihan atau dehidrasi berat
• Individu yang mengalami gangguan secara mental.


PENYEBAB RADANG DINGIN
Prinsipnya, tubuh Anda bekerja untuk tetap hidup. Lalu tubuh bekerja untuk tetap berfungsi.

• Dalam kondisi kontak yang terlalu lama dengan dingin, tubuh mengirim sinyal ke pembuluh darah di lengan dan kaki, memberitahu untuk menyempitkan pembuluh darah. Dengan memperlambat aliran darah ke kulit, tubuh Anda dapat mengirim lebih banyak darah ke organ vital, memasok organ vital dengan nutrisi penting, sekaligus mencegah penurunan suhu tubuh internal lebih lanjut dengan cara mengurangi darah terkena dingin dari luar.

• Karena proses ini terus berlanjut dan ekstremitas menjadi lebih dingin, kondisi yang disebut respon-pemburu (Hunter’s Response atau Axon Reflex) dimulai ; pembuluh darah melebar untuk periode tertentu dan kemudian menyusut lagi. Periode-periode dilatasi ini adalah proses perputaran waktu penyempitan pembuluh darah untuk menjaga fungsi-fungsi tubuh pada bagian ektremitas tadi. Namun, ketika otak merasa bahwa tubuh berada dalam bahaya hipotermia - suhu tubuh turun jauh di bawah 98.6 F, pembuluh darah menyempit secara permanen untuk mencegah darah yang dingin kembali ke organ internal. Ketika ini terjadi, radang dingin telah dimulai.

• Radang dingin disebabkan oleh dua cara yang berbeda: kematian sel pada saat paparan dan kerusakan sel lebih lanjut serta kematian sel karena kekurangan oksigen.
o Pertama-tama, kristal es terbentuk di ruang luar sel. Air menghilang dari sel dan dehidrasi memperburuk kerusakan sel.
o Kedua, lapisan pembuluh darah yang rusak menjadi penyebab utama. Ketika darah kembali ke ekstremitas setelah dihangatkan oleh organ vital, darah menemukan pembuluh darah sendiri terluka juga oleh cuaca dingin. Lubang muncul di dinding pembuluh darah dan kebocoran keluar terjadi ke jaringan. Darah terhambat, terjadi aliran turbulen kecil membentuk darah beku dalam pembuluh terkecil dari ekstremitas. Karena ini masalah aliran darah, terjadi interaksi yang kompleks dan peradangan, yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut. Cedera ini merupakan penentu utama dari jumlah kerusakan jaringan yang terjadi pada akhirnya.
o Pembekuan ke dalam sel sendiri sangat jarang terjadi. Fenomena ini hanya terlihat pada luka beku sangat cepat seperti yang dihasilkan oleh logam-logam cair seperti nitrogen cair.



GEJALA RADANG DINGIN
Berbagai sistem klasifikasi telah diajukan untuk membedakan gejala radang dingin. Yang paling mudah untuk memahami, dan mungkin salah satu yang memberikan petunjuk terbaik untuk hasilnya yaitu klasifikasi yang membagi radang dingin menjadi dua jenis : superfisialis - dangkal dan profunda - dalam.

• Pada radang dingin yang dangkal, penderita mungkin mengalami rasa terbakar, mati rasa, kesemutan, gatal atau sensasi dingin di daerah yang terkena. Daerah tampak putih dan beku, tetapi jika ditekan daerah itu masih menunjukan resistansi – kenyal dan hidup.

• Pada radang dingin dalam, ada penurunan awal dalam sensasi-rasa yang akhirnya benar-benar hilang. Pembengkakan dan lepuh yang mengandung darah terlihat pada kulit yang memutih atau berubah kekuningan, terasa seperti lapisan lilin dan berubah menjadi biru keunguan. Daerah yang terkena kehilangan elastisitas, menghitam dan terasa mati.

• Penderita akan mengalami nyeri yang signifikan sebagai akibat proses pembangunan dan perbaikan aliran darah kembali. Rasa sakit terus menerus berubah menjadi sensasi berdenyut dalam 2 sampai 3 hari. Proses ini bisa memakan waktu beberapa minggu atau bulan sampai akhirnya pemisahan jaringan selesai.

• Bagian tubuh yang terkena radang dingin bisa menipu karena tampak sehat. Kebanyakan penderita tidak dating ke rumah sakit dengan tisu atau jaringan yang telah beku dan mati. Hanya waktu yang bisa mengungkapkan jumlah akhir kerusakan jaringan.

Kondisi yang berhubungan dengan radang dingin ringan : frostnip, kaligata dan kejang kaki.

• Frostnip mengacu pada perkembangan parestesia - sensasi kesemutan, yang terjadi akibat paparan dingin. Mereka menghilang pada re-warming - proses penghangatan kembali jaringan oleh darah, tanpa merusak jaringan.

• Chilblain atau pernio – kaligata, mengacu pada peradangan jaringan lokal yang muncul sebagai pembengkakan berwarna kemerahan atau ungu. Ini terjadi karena paparan lembab atau basah yang berulang pada kondisi dingin di atas titik beku. Kaligata mungkin gatal atau menyakitkan.

• Kejang kaki – terutama banyak terjadi saat Perang Dunia I sebagai akibat dari paparan berulang dari kelembaban dan dingin dan diperburuk oleh sepatu yang ketat. Kaki yang terkena berubah kemerahan, terjadi pembengkakan disertai nyeri atau mati rasa dan mungkin ditutupi lecet atau lepuh berdarah.


FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor yang memperbesar resiko radang dingin

• Suhu dingin ekstrim, ini adalah faktor yang paling menentukan. Radang dingin umumnya terjadi di daerah dengan suhu rendah yang konstan seperti kawasan utara dan selatan atau daerah ketinggian.

• Kurangnya perlindungan tubuh yang menyebabkan penurunan suhu tubuh dengan cepat akibat buruknya sirkulasi darah. Faktor angin juga amat berpengaruh dalam soal ini.

• Penyakit khusus seperti diabetes.


PENCEGAHAN dan PENANGANAN
Upaya pencegahan sebenarnya tidak terlalu sulit. Semua bagian tubuh, terutama pembuluh darah yang dekat dengan jaringan kulit – seperti jaringan darah di leher dan nadi, harus terlindungi dengan baik. Bagian ekstremitas harus terlindungi dengan baik, misalnya pilih mitten dibanding sarung tangan biasa. Asupan makanan untuk menjamin produksi panas tubuh juga menentukan.

Penanganan radang dingin bisa dilakukan dengan dua cara
• Passive rewarming, dilakukan dengan bantuan panas tubuh atau suhu ruang yang lebih hangat dengan cara melindungi bagian yang terkena radang dingin atau bergerak ke daerah yang bersuhu lebih tinggi.
• Active rewarming, dilakukan dengan bantuan alat yang membantu proses penanganan secara langsung. Biasanya di lakukan di fasilitas kesehatan. Cara yang paling umum adalah dengan merendam bagian yang terkena radang dingin dalam air bersuhu 40-42°C (104-108F).

Amputasi pada radang dingin biasanya hanya dilakukan ketika bagian tubuh yang mati telah terinfeksi gangrene yang menyebabkan pembusukan.

DIMANAKAH SEMAK BELUKAR? DIMANAKAH ELANG?


Tahun 1854, Pemimpin Besar Orang Kulit Putih di Washington menyatakan keinginan untuk membeli tanah milik orang Indian yang luas dan berjanji akan memberikan mereka tanah perlindungan. Jawaban Kepala Suku Indian Seattle – ditulis di sini secara lengkap – dianggap sebagaipernyataan mengenai hubungan antara manusia dan lingkungan hidup yang indah.

...

Udara sangat berharga bagi orang kulit merah, karena semua berbagi nafas dengannya – binatang, pohon dan manusia. Orang kulit putih tidak memperhatikan udara yang dihirup. Seperti orang yang sudah mati beberapa hari, ia kebal dengan bau busuk.

Jika tanah ini kami jual kepada Tuan, Tuan harus ingat kalau udara sangat penting bagi kami, kalau udara membagi esensinya dengan semua yang ia tunjang kehidupannya. Angin yang memberi nafas pertama kepada kakek kami juga menerima nafas terakhir darinya. Jika kami menjual tanah kepada Tuan, Tuan harus memisahkan dan memuliakannya sebagai tempat dimana orang kulit putih pun dapat menikmati angin, yang dipermanis oleh aroma bebungaan padang rumput.

Jadi kami akan mempertimbangkan permintaan Tuan untuk membeli tanah kami. Jika kami setuju, saya mau mengajukan satu syarat. Orang kulit putih harus memperlakukan binatang-binatang di atas tanah ini sebagai saudara laki-laki. Saya orang biadab dan saya tidak mengerti cara lainnya.

Saya telah melihat ribuan kerbau yang membusuk di padang rumput, ditinggalkan begitu saja oleh orang kulit putih yang menembakinya dari kereta api yang sedang berjalan. Saya orang biadab dan tidak mengerti kepada kuda besi berasap dianggap lebih penting dari pada kerbau yang kami bunuh demi hanya untuk menyambung hidup.

Apakah artinya manusia tanpa binatang? Jika semua binatang punah, manusia akan mati karena kesepian yang luar biasa. Karena apapun yang terjadi pada binatang akan terjadi pula secara cepat pada manusia. Semua hal saling bertalian.

Tuan harus mengajari anak-anak Tuan kalau tanah di bawah telapak kaki mereka adalah abu dari kakek-kakek Tuan. Agar mereka menghargai tanah, ceritakanlah kepada mereka kalau bumi ini kaya dengan kehidupan. Ajarkanlah kepada anak-anak Tuan seperti kami mengajarkan kepada anak-anak kami, bahwa bumi adalah ibu kita. Apa yang terjadi pada bumi akan terjadi pada anak-anak kami. Jika orang meludahi tanah, maka ia meludahi dirinya sendiri.

Yang kami ketahui bumi tidak dimiliki orang. Oranglah yang dimiliki bumi. Kami tahu, semua hal saling bertalian. Seperti darah yang menyatukan keluarga. Apa yang terjadi dengan bumi akan terjadi pada anak-anak kami. Manusia tidak merajut jaring-jaring kehidupan. Ia hanyalah bagian kecil dari padanya. Apa yang ia perbuat terhadap jaring kehidupan adalah tindakan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Bahkan orang kulit putih, yang Tuhannya berjalan dan berbicara dengannya seperti teman kepada teman, tidak dapat dikecualikan dari nasib bersama. Kita semua pada akhirnya bersaudara. Kita akan melihatnya. Satu hal yang kita ketahui, yang pada suatu hari akan disadari pula oleh orang kulit putih – Tuhan kita adalah Tuhan yang sama.

Sekarang Tuan boleh berpendapat bahwa Tuan memiliki Dia, sebagaimana Tuan ingin memiliki tanah kami. Tetapi tidak mungkin Tuan memilki Dia sendiri. Dia adalah Tuhan dari semua manusia, yang perhatiannya sama besar baik kepada orang kulit merah maupun orang kulit putih. Bumi ini amat berharga bagi Dia. Merusak bumi akan membangkitkan balas dendam Sang Pencipta. Orang kulit putih juga akan lenyap, mungkin lebih cepat dari suku-suku lainnya. Kotorilah ranjang Tuan, maka suatu malam Tuan akan tercekik oleh kotoran Tuan sendiri.

Pada saat Tuan mati, Tuan akan bersinar terang, dibekali kekuatan Tuhan yang membawa Tuan ke tanah ini, untuk tujuan istimewa Tuan, kekuasaan atas tanah ini dan atas orang kulit merah.

Takdir adalah suatu misteri bagi kami, karena kami tidak tahu kapan semua kerbau habis disembelih, kuda liar dijinakan, sudut-sudut rahasia hutan dipenuhi bau orang banyak dan bukit-bukit dipenuhi kabel-kabel berbicara.

Di manakah semak belukar? Hilang.
Di manakah elang? Lenyap.
Di sinilah kehidupan berakhir.
Dan, kehidupan baru pun dimulai!