Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Jumat, 27 Januari 2012

GPS? Fuck!


Sumpah! Saya pernah bermaksud membuang GPS saya sejak 1,56 juta tahun yang lalu!

Sebutlah saya alay lebay, karena mungkin benar. Tapi, beneran, saya sudah pernah anti Global Positioning System. Alasannya sepele ; GPS itu teknologi canggih. Sementara, otak saya tidak terlalu canggih. Namun alasan sebenarnya adalah karena makin canggih sebuah teknologi – entah kenapa, koreksi saya jika salah – teknologi itu makin ringkih (Jawa ; lemah – Red.). Atau – ini lebih berbahaya – membuat kita makin ringkih!

Ini pengalaman nyata.

Di sebuah gunung, dengan noraknya (padahal tidak ada orang selain saya dan climbing partner ) saya mengeluarkan GPS baru, memperhatikan layar LCD-nya, memencet-mencet tombol dan… saya langsung kebelet buang air besar! Climbing partner saya langsung mengerutkan kening. Kenapa, tanyanya. Makderabit, jawab saya sedikit panik. Kita melenceng 4 derajat!

Climbing partner saya langsung mesem. Norak lu, katanya santai. Tangannya meraih GPS baru milik saya itu. Matanya langsung meneliti layar LCD, membiarkan saya berdiri di sampingnya dengan harap-harap cemas. Tiga koma empat detik kemudian ia kembali menatap saya ; Ini bukan peta Papandayan dodol, ujarnya. Ini peta Jakarta! Melenceng 4 derajat dari mana? Dari Hongkong?

Oke, saya koreksi kalimat dua alinea di atas ; itu pengalaman nyata soal gobloknya saya. Nah, di bawah ini, pengalaman nyata soal teknologi yang makin canggih makin ringkih sekaligus membuat manusia penggunanya ikut ringkih.

Setelah paham kalau GPS butuh input data  lokasi, saya makin norak. Semua data lokasi yang pernah saya kunjungi, saya masukan. Siapa tahu saya membutuhkan suatu hari, pikir saya. Walhasil, GPS saya mungkin GPS paling gaul sekaligus paling apes, karena ke WC pun tak jarang alat canggih itu saya bawa. Pada beberapa perjalanan di alam bebas, GPS saya bekerja dengan baik. Tentu saja – sebagai bekas gaptekers – saya sangat sumringah (Jawa ; sedikit alay – Red.)

Sampai suatu saat, di sebuah sungai setelah 8 jam berarung jeram, malapetaka itu terjadi ; GPS saya tidak bekerja! Padahal, saya sudah membungkusnya dengan 3 lapis plastik agar tidak basah. Baterenya pun menyala sempurna. Saya bahkan membawa cadangannya. Tapi, di layar LCD yang terlihat hanya tulisan bodoh berbunyi ; Out of coverage area!

Lha, ujar saya dengan mimik bodoh (lagi) pada teman-teman seperahu, apa gunanya alat ini kalau ia tidak bisa mencakup semua titik di dunia? Apa kerjanya satelit-satelit di atas sana? Apa? Wedus gembel! Keterangan dari beberapa teman seperahu yang memang sudah lebih terbiasa menggunakan alat ini tidak memuaskan saya ; GPS mungkin saja gagal menerima sinyal karena banyak sebab dan sebagainya. Sebagai sebuah teknologi canggih, GPS bergantung pada teknologi lain yang tidak kalah canggihnya. Jika satu sistem gagal, sistem lain biasanya akan ikut gagal. Begitulah kelemahan sophisticated technology, ujar mereka panjang lebar. Sampai akhirnya – mungkin karena sebal mendengar omelan saya – sang kapten perahu menyodorkan peta sungai. Coba kang, ujarnya sembari menahan senyum, cek saja posisi kita di peta ini.

Dan terjadilah malapetaka kedua!

Saya terbengong-bengong menatap peta sungai yang tiba-tiba saja terasa asing! Padahal baru 3 tahun semenjak saya menggunakan GPS sialan itu! Tiga tahun! Apa sih yang bisa terjadi selama 3 tahun? Anak kecil saja belum tentu bisa cebok sendiri saat umur 3 tahun!

Tapi itulah kenyataannya! Tiba-tiba saja saya merasa tersesat sesesat-sesatnya. Tiba-tiba saja, saya kangen setengah mati pada kompas prisma yang sudah saya miliki lebih dari 20 tahun. Mendadak saya merasa berdosa ; saya sudah selingkuh! Sementara kompas butut itu selalu setia menemani saya kemanapun. Tidak pernah ngadat apalagi complain meskipun kerap ikut berbasah-basah dan berlumpur-lumpur. Oooh… ayam, eh… kompasku!

Manusia itu memang ajaib ya ; mahluk yang mudah terbius dan tergoda! Dan itu bukan hanya soal GPS vs. kompas  lho! Soal lain yang lebih seram pun begitu ; korupsi, WIL/PIL sampai nepotisme yang menyebalkan itu. Saya mengaku bukan manusia yang amat sangat setia pada sesuatu. Buat saya, kesetiaan itu relatif, karena pertanyaan soal kesetiaan itu sebenarnya bukan pada siapa. Tapi pada apa. Itu sebabnya, saya memilih setia pada Tuhan, bukan pada manusia. Saya memutuskan setia pada hukum-hukumnya. Walaupun tidak amat taat, saya selalu mencoba untuk menarik batasan. Sebab saya percaya, batasan itulah yang membedakan kemanusiaan sesorang. Nah, soal hukum Tuhan itu, salah satunya adalah perubahan. Percayalah, hidup itu intinya sebuah perubahan yang simultan. Anda menolaknya, kemungkinan Anda akan kalah. Sialnya, perubahan itulah yang juga membuat saya memutuskan untuk menyelingkuhi kompas saya dan bermesraan dengan si GPS.  

Saya tidak ingin berbicara soal benar salah. Sebab pada akhirnya, kesalahan terbesar bukan pada alat atau teknologi. Tapi pada manusianya. Kesalahan terbesar saya adalah tidak merencakan perubahan itu dengan bijaksana dan melakukannya dengan membabi buta. Dan seperti semua hal yang dilakukan dengan membabibuta - atau membadakpicek, menggajahjuling dan seterusnya - saya justru bertambah ringkih. Bukan bertambah kuat!

Padahal, bahkan Tuhan memberi kesempatan manusia untuk berubah selama hidupnya! Agar menjadi mahluk yang lebih baik. Caranya sebenarnya sederhana ; berlaku jujur. Saya tidak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan perubahan itu sesuai kebutuhan. Saya dibutakan oleh keinginan untuk menjadi sama dengan para pegiat alam bebas lain yang makin hari makin canggih. Padahal, sejak 3,8 juta tahun lalu, saya sudah percaya bahwa berbeda itu indah luar biasa.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya dan climbing partner saya kembali mendaki gunung. Kali ini, saya memasukan GPS dan kompas prisma saya ke dalam kantung yang sama. When sophisticated technology failed, the old knowledge will take control, ujar saya dalam hati sembari cengar-cengir. Selama pendakian tidak terjadi sesuatu. Kami mencapai puncak dan bersiap mengabadikan sunrise yang luar biasa indahnya. Ayo cepat, teriak climbing partner saya tak sabar. Ia memang bersedia menemani saya setelah saya iming-imingi berfoto dengan latar belakang sunrise. Lumayan buat profile picture Facebook, rayu saya sebelumnya. Agar lebih sulit ditolak saya lancarkan rayuan maut : kalau perlu, nanti gue cetakin 20R buat elu pajang di kamar. Anehnya, rayuan itu masih saja ampuh.

Setelah atur sana atur sini, saya mengarahkan Nikon FM2 saya. Wajah saya berubah pucat. Saya sengaja membawa kamera analog itu karena sudah cukup lama tidak menggunakannya. Padahal - seperti kompas saya - kamera itu banyak jasanya. Termasuk merekam beberapa kejadian penting seperti Kerusuhan Jakarta 1998, beberapa bencana alam nasional dan sebagainya. Melihat wajah saya pucat pasi, kening climbing partner saya berkerut. Dan kerutan itu tidak hilang selama 24 jam kemudian – selama perjalanan turun dan pulang - meskipun saya berusaha setengah mati meminta maaf ; saya lupa membawa film!

Maklum, sudah terbiasa memakai kamera digital! :p





Rabu, 18 Januari 2012

API DARI AIR DAN ES? BECANDA…


Kening keponakan saya langsung berkerut ketika saya mengucapkan kalimat ini ; “Api bisa lho dibuat dari air!” Ada kaca disamping tempat duduk Anda? Coba lihat, apakah kening Anda juga berkerut?

Sulap? Bukan! Sihir? Amit-amit! Ini murni pengetahuan berbasis logika!

Api itu proses oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi yang menghasilkan cahaya, panas dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya. Api berupa energi berintensitas yang bervariasi dan memiliki bentuk cahaya  - dengan panjang gelombang di luar spektrum visual sehingga dapat tidak terlihat oleh mata manusia - dan panas yang juga dapat menimbulkan asap.

Penemuan cara menyalakan api, mungkin merupakan salah satu penemuan terbesar dalam sejarah manusia. Pengetahuan menyalakan api membuat api menjadi salah satu alat terpenting yang mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Kalau tidak percaya, cobalah hidup seminggu tanpa api. Para arkeolog dan pasukan anti huru-hara pasti akan mengepung rumah Anda – mengira Anda Phitecantrophus Erectus yang masih tersisa!

Menyalakan api itu mudah jika Anda dibantu teknologi. Alat pembuat api bisa ditemui dimana-mana. Tidak usahlah saya sebutkan. Yang jelas, alat pembuat api modern bekerja dengan beberapa prinsip ; gesekan dua bahan kimia (korek api kayu dan gas) atau  gesekan dua kutub berbeda yang mengandung tenaga listrik (korek api elektrik). Jangankan Anda, anak balita seperti keponakan saya pun, bisa menggunakannya.

Nah, bagaimana jika alat pembuat api modern tidak tersedia? Mari kita membuat pertanyaan ini lebih dramatis ; bagaimana jika alat pembuat api modern tidak tersedia sementara Anda sedang berada di ketinggian ribuan meter di sebuah gunung terpencil, sendirian, kedinginan didera angin sementara di ransel Anda tersedia berbungkus-bungkus sop instant, kopi dan rokok? Kurang dramatis? Oke ; bagaimana jika alat pembuat api modern tidak tersedia saat Anda sedang berada di tengah-tengah Kutub Utara, berpacu dengan waktu membangun igloo sementara  seekor beruang kutub memperhatikan 100 meter dari tempat Anda sambil berpikir ; “Gue makan nggak ya nih orang?”

Survival adalah permainan mental!

Kalau bicara soal mental, bicaralah soal peralatan paling canggih dan mumpuni yang sebenarnya sudah Anda miliki sejak Anda belajar mengeja huruf dan angka ; kreatifitas! Dengan kreatifitas inilah, api bisa dibuat dari air dan es!

Bagaimana caranya? Baiklah! Berhentilah melongo dengan mulut terbuka dan perbaiki sikap duduk Anda. Malu dong sama komputer!

Salah satu metode menyalakan api adalah dengan memanfaatkan titik fokus cahaya. Caranya dengan menggunakan lensa kaca atau bahan lain ; Anda pasti pernah melakukannya dengan sebuah kaca pembesar atau suryakanta. Bisa juga dengan memantulkan cahaya menggunakan bahan yang memang memantulkan cahaya atau reflektor. Metode ini kita bahas di tulisan tersendiri. Nah, di sinilah kreatifnya. Suryakanta bisa dibuat dari bahan air atau es!

Jadi, api bisa dibuat dari air atau es dengan metode titik fokus cahaya!

Untuk membuat api dari air, yang Anda butuhkan hanyalah selembar plastik bersih dan air secukupnya. Masukkan air ke dalam plastik. Buat air dalam plastik itu mengelembung seperti bola. Itulah suryakanta Anda. Arahkan sinar matahari agar terfokus di satu titik. Jika Anda menggunakan es, Anda harus membentuk es itu menjadi lensa cembung.


                                       Suryakanta dari air 

Mudah? Sama sekali tidak!

Suryakanta dari air menuntut bentuk bulat yang sempurna. Jika tidak, cahaya akan terbias kemana-mana dan sulit bagi Anda untuk mendapat titik fokus cahaya. Plastik yang digunakan harus setipis mungkin tapi cukup kuat untuk menahan tekanan air. Selain itu, airnya harus benar-benar bersih. Partikel-partikel dalam air bisa saja mengganggu usaha Anda membuat titik fokus cahaya. Anda bisa menggunakan material tipis lebar berbentuk lingkaran untuk memudahkan Anda membulatkan plastik berisi air tadi. Kesulitan yang hampir sama juga terjadi jika Anda menggunakan es. Hampir tidak ada es yang benar-benar bersih. Jika tidak kotor, biasanya terdapat gelembung udara yang bisa membiaskan cahaya.

Jadi, sebenarnya bisa tidak? Bisa! Bukti ilmiah menunjukkan bahwa banyak kebakaran alamiah terjadi karena metode ini ; api muncul dari titik fokus cahaya yang diciptakan setitik embun atau dari pantulan es alami. Saya sendiri mencobanya. Dan berhasil. Meski membutuhkan waktu 2 minggu percobaan, puluhan lembar plastik dan berbaskom-baskom es yang saya buat di freezer kulkas ibu saya (yang sempat berpikir saya hendak ganti profesi menjadi pedagang es balok!)

Oke! Berhenti tersenyum-senyum! Keluar dan cobalah! Percayalah, di depan komputer senyum Anda tidak menumbuhkan api asmara siapapun! Anda harus memfokuskannya pada seseorang di luar sana! :p


Senin, 16 Januari 2012

MENYALAKAN API ITU BUTUH CINTA!


RAHASIA TEKNIK SURVIVAL PRAKTIS

Cobalah makan sekerat daging ular mentah! Hueeek… Percayalah, Rambo pun akan berpikir dua kali. Tidak lucu dong, kalau jagoan tempur muntah cuma karena makanan mentah!

Menurut bukti sejarah, api sudah digunakan untuk memasak makanan sejak 1.9 juta tahun lalu. Dan bukan untuk itu saja. Api juga digunakan untuk bertahan dari udara dingin, memproduksi senjata sampai alat untuk menyiksa.  Para pegiat alam bebas ; pendaki gunung, pemanjat tebing, pengarung jeram dan seterusnya, amat menghargai api. Percayalah, setelah berjam-jam didera lelah, secangkir kopi atau teh hangat manis, menjadi hiburan yang luar biasa mewah di udara dingin.

Di kondisi darurat, api menjadi lebih penting dari sekedar membuat kopi atau teh hangat. Api bisa digunakan untuk melindungi diri atau menjadi alat pemberi sinyal. Masalah muncul jika alat-alat membuat api modern (korek api kayu, korek api gas atau pemantik magnesium) tidak tersedia. Di sinilah penguasaan teknik-teknik survival dasar memegang peranan penting. Salah satunya, menyalakan api dengan teknik primitif.

Ada banyak cara dan metode. Tapi yang paling populer adalah teknik Bow and Drill atau Firebow ; busur api. Sebuah teknik menyalakan api dengan memanfaatkan panas yang ditimbulkan oleh gesekan kayu. Disebut busur api karena gerak gesekan itu dilakukan dengan menggunakan busur dan tali, milip seperti busur untuk memanah. Ada empat bagian utama. Pertama, bow - busur. Dua driil - bor. Ketiga, socket - penahan bor. Keempat fireboard - alas kayu.

Caranyapun sederhana.

Pertama, buat busurnya. Lalu drill atau bor. Kemudian buat socket – pengendali dan penahan bor, serta fireboard – alas kayu. Di alas kayu inilah dibuat lubang dan potongan berbentuk V. Fungsinya, tempat salah satu ujung bor ditempatkan. Ujung lainnya ditahan oleh penahan bor. Lalu, bor yang sudah dililit tali busur pun diputarkan dengan gerakan busur. Di bagian bawah lubang alas kayu diletakkan serbuk penangkap percikan api.

Setelah semua siap, busur digerakan perlahan. Lilitannya akan membuat bor berputar. Perlahan saja, temukan ritmenya. Setelah itu, mulai percepat dan tekan penahan bor lebih kuat. Lama kelamaan, gesekan ujung bor pada alas kayu akan menghasilkan panas dan percikan yang ditangkap serbuk di bawah lubang. Anda hanya perlu membuat serbuk itu terus menyala menjadi bara. Lalu menambahkan kayu-kayu kecil untuk menyalakannya menjadi api.


Mudah bukan? Ya! Sangat mudah. Tapi percayalah, 95% percobaan pertama pasti gagal!

Bagaimana bisa?

Ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan pemula. Pertama, ujung bor pada lubang alas kayu dibuat runcing – seolah dibuat untuk melubangi alas kayu. Padahal justru sebaliknya. Ujung bor pada lubang alas kayu harus relatif tumpul. Ini justru membuat gesekan yang lebih cepat menimbulkan panas. Kedua, tali pada busur seringkali kurang kuat atau justru terlalu kuat. Akibatnya, putaran bor tidak efisien. Sering juga, bor justru diam ditempat sementara talinya bergeser terus karena permukaan bor terlalu licin.

Tapi, kegagalan yang seringkali masih terjadi disebabkan karena ketidaktahuan soal rahasia kecil ini ; menyalakan api itu ternyata butuh cinta!

Serius!

Dari beberapa percobaan, para survivor paham bahwa untuk menghasilkan panas dari gesekan kayu dibutuhkan dua jenis kayu berbeda. Tidak sekedar berbeda, tapi harus benar-benar cocok. Mirip pasangan yang jatuh cinta! Salah satu kayu harus lebih keras dari yang lain. Tapi, keduanya harus relatif sama kerasnya. Artinya tidak mudah patah. Kedua kayu juga harus sama-sama kering. Bagi survivor berpengalaman, menggesekan dua kayu yang basah, bukan cuma membuang tenaga percuma, tapi juga ‘ngeres’!

Sebenarnya saya ingin menulis daftar kayu yang cocok dipasangkan untuk membuat gesekan yang efektif membuat panas. Tapi ah, keenakan Anda dong! Survivor harus berani mencoba dan gagal. Sekaligus, saya juga ingin tahu seberapa ‘ngeres’ otak Anda! J




SAMPAH DI GUNUNG? SOAL KECIL!

Anda boleh protes, tapi itulah kenyataannya ; sampah itu soal kecil!

Mungkin sudah ratusan kali, pendaki gunung seperti Anda melihat langsung atau melihat foto-foto sampah yang bertebaran di sepanjang jalan setapak gunung. Anda mungkin miris, sedih, kesal atau malah marah. Pikiran Anda lantas membentuk pola pikir yang mengarah pada sikap, perilaku dan latarbelakang negatif pelaku-pelakunya. Setelah itu, Anda akan menyusun pertanyaan soal bagaimana mengatasi masalah-masalah itu.

Ada api, ada asap. Ada manusia, ada sampah!

Jadi, kalau hanya berpikir soal bagaimana agar tidak ada sampah di gunung, ya mudah ; jangan izinkan satu orang pun manusia mendakinya! Beres kan? Dan, eits, jangan buru-buru mengatai saya bloon. Sebab, tanpa Anda katai pun, saya sudah tahu saya bloon. Tapi akuilah dulu ; kita seringkali berpikir kurang jernih terhadap suatu masalah. Kita kerap berpikir soal masalah pada ujungnya. Bukan pangkalnya. Padahal, memetakan pangkal masalah adalah cara paling mudah menyelesaikan masalah. Termasuk masalah sampah di gunung.

Ini contohnya.

Beberapa tahun lalu, saya mendaki sebuah gunung di luar negeri, di sebuah negara maju (tidak usah saya sebutkan gunung atau negaranya ya... tidak penting!). Sebagai jurnalis, saya penasaran bagaimana gunung yang masuk wilayah Taman Nasional itu bisa sangat bersih dan terpelihara. Jadilah saya bertanya ini itu pada Kepala Taman Nasional-nya.

Apakah gunung dan Taman Nasional ini buka sepanjang tahun? Kapan biasanya dilakukan recovery? Si Kepala Taman Nasional memandang heran. Recovery, ujarnya balas bertanya. Nggak ada tuuuh… Apakah para pendaki gunung di sini getol melakukan kegiatan bersih gunung, tanya saya lagi. Si kepala Taman Nasional memandang makin heran. Bersih gunung? Apaan tuuuh… Saya penasaran. Apakah para pendaki gunung di sini semua pencinta alam yang kesadarannya soal kelestarian alam sangat tinggi, cecar saya. Si kepala Nasional lagi-lagi memandang heran. Pencinta alam? Apaan siiih…

Jadi, bagaimana gunung dan Taman Nasional ini bisa begitu bersih, terpelihara dan indah?

Sederhana, jawabnya. Ini soal reward dan punishment ; soal penghargaan dan hukuman!

Para Rangers, Jagawana atau apalah sebutannya, sadar betul bahwa mengurus sebuah gunung dan Taman Nasional itu pekerjaan yang luar biasa berat. Jangankan dibuka untuk umum. Tidak dibuka untuk umum pun, mengurus gunung dan Taman Nasional membutuhkan tenaga, keahlian, strategi dan biaya yang tidak sedikit. Jadi bayangkan jika gunung dan Taman Nasional itu terbuka dan bisa dimasuki oleh masyarakat umum. Soal manusia, sebenarnya soal mudah. Manusia itu mahluk yang mencari dan butuh pilihan. Ambil contoh ; berberat-berat membawa tenda atau kedinginan di puncak gunung? Pendaki yang pintar pasti memilih membawa tenda. Pendaki yang bodoh, memilih kedinginan. Di titik ini, ujar si Kepala Taman Nasional, kami katakan pada pendaki yang memilih kedinginan itu ; “Get your butt out of here! We don’t need another morron!”

Beres kan?

Tentu saja, teknisnya tidak seperti itu. Memangnya Opera Van Java!

Protokol dan prosedur disusun secara apik untuk mendeteksi masalah perlengkapan bahkan masalah kesiapan mental dan fisik pendaki-pendaki itu. Bukan hal aneh di kantor Taman Nasional di negara maju, terdapat mesin pendeteksi kandungan alkohol dalam tubuh! Bukan hal aneh juga kalau di kantor-kantor itu, tersedia selembaran gratis berisi informasi peralatan, peta lengkap sampai teknik survival praktis! Bahkan, di beberapa kesempatan, petugas Taman Nasional berhak mengadakan tes keterampilan. Biasanya tertulis. Di lembar tes itu disusun pertanyaan sederhana seperti bagaimana mendirikan tenda yang benar. Jika ada pendaki yang tidak bisa menjawab pertanyaan ini, para Rangers pasti menyalakan lampu tanda bahaya! Mereka langsung memberi latihan singkat dan bertanya apa lagi yang pendaki itu tidak ketahui soal kegiatan yang akan mereka jalani. Tak hanya itu, para Rangers juga mengawasi pendaki gunung ini dengan ketat, memonitornya dengan teratur. Jika sesuatu terjadi, tindakan bisa dilakukan dengan cepat karena masalahnya sudah diketahui sejak awal. 

Begitu juga soal sampah.

Beberapa Taman Nasional sangat ketat menerapkan aturan soal ini. Kebanyakan sampah yang dibawa pendaki gunung atau pengunjung Taman Nasional biasanya sampah berupa pembungkus makanan. Selebihnya adalah sampah yang berhubungan dengan kebutuhan lain seperti kebersihan atau peralatan.

     Mendaki tanpa sampah di Cradle Mountain, Tasmania

Tidak seperti Taman Nasional di Indonesia yang memperbolehkan pengunjung untuk membawa hampir apapun ke area konservasi, petugas Taman Nasional di negara maju amat teliti. Makanan diteliti dan ditimbang. Bukan jumlahnya yang dipermasalahkan tapi pembungkusnya. Makanan siap saji yang memiliki kemasan berlapis-lapis jangan harap bisa masuk. Pilihannya adalah ditinggal atau bungkusnya dikurangi. Ambil contoh mie instant yang dibungkus plastik dengan bumbu-bumbu yang juga dikemas. Jika tetap ingin dibawa, maka mie atau bumbunya harus dikeluarkan dan kemasannya dibuang. Ada beberapa Taman Nasional yang menerapkan peraturan berat maksimal bahan plastik yang boleh dibawa ke kawasan.

Peralatan pun begitu. Ditimbang dan dicatat. Gas kaleng untuk memasak dicatat jumlahnya. Begitu juga kebutuhan kebersihan seperti tissue atau pembalut. Membawa satu pak pembalut untuk kunjungan 24 jam pasti membuat para Rangers mengerutkan kening! Begitu juga jika ada pengunjung yang nekat membawa bergulung-gulung tissue.

Para pengunjung juga diwajibkan membawa kembali sampah mereka di dalam plastic-bag yang disiapkan Taman Nasional. Jika merepotkan, mereka boleh meninggalkannya di pos-pos pengumpulan sampah yang sudah disiapkan. Tapi mereka wajib melaporkannya. Jika tidak, jangan harap bisa meninggalkan Taman Nasional. Para Rangers akan menggiring pengunjung ke ruang tahanan sementara kasus pelanggaran mereka diproses dan denda dijatuhkan. Memang tidak seperti ruang tahanan kriminal. Tapi tetap saja memberi efek jera dan malu. Apalagi, hukumannya tidak hanya sampai di situ. Nama mereka dicatat dan disebarkan ke Taman Nasional lain. Jadi Taman Nasional lain akan bersiap ketika si pengunjung nakal itu datang. Jika sudah berkali-kali, Rangers bahkan berhak menolak kedatangan si pengunjung atau memperkarakannya secara hukum.

Soal denda juga tidak main-main. Ada beberapa Taman Nasional yang menerapkan aturan sita. Artinya, jika si pengunjung tidak memiliki uang untuk membayar denda, barang-barang mereka langsung disita. Umumnya, Taman Nasional itu bekerja sama dengan badan resmi penggadaian. Semacam Perum Penggadaian di Indonesia. Si pengunjung diperbolehkan pulang dan diberi waktu untuk membayar denda dan menebus barang-barangnya. Jika melewati tenggat waktu, badan penggadaian akan melelangnya, menyerahkan jumlah uang hasil lelang sesuai dengan denda yang dijatuhkan dan sisanya digunakan untuk kebutuhan sosial atau konservasi. Jadi, jangan harap Anda bisa lolos dengan memasang raut wajah memelas sambil berkata, “Yaaa bapak, saya nggak punya uang nih!” - sementara di punggung Anda, tersampir ransel berharga ratusan ribu! Di sana, para Rangers akan membalas rengekan Anda dengan kalimat, “Please deh! Basi tau!

Lho, ujar saya sambil melongo, sadis amat sih? Apakah peraturan seperti itu tidak membuat para pengunjung atau pendaki gunung takut? Si Kepala Taman Nasional menggeleng yakin. Tidak ada peraturan yang cukup berat untuk diikuti oleh pendaki gunung yang benar-benar mencintai alam!

Dan memang, bukan hanya soal pelanggaran saja yang disorot. Soal penghargaan untuk pengunjung yang baik pun amat diperhatikan. Jika Anda melaporkan sebuah kerusakan atau melakukan sesuatu melebihi kewajiban, Anda juga diganjar hadiah. Biasanya cuma sebuah pin sederhana, setangan (slayer) atau sertifikat. Nama Anda pun dicatat dalam daftar pengunjung yang baik. Keuntungannya, Anda bisa mendapat prioritas sebagai pengunjung yang jumlahnya memang selalu dibatasi. Kelihatannya sepele, namun ternyata mampu membangkitkan kesadaran dan kebanggaan memiliki dan menjaga.

Tentu saja semua ini butuh biaya. Dan biaya itu datang dari retribusi pengunjung. Jadi jangan langsung mengangkat kapak perang kalau Taman Nasional mengumumkan biaya retribusi baru yang lebih mahal. Sebab percayalah, harga kelestarian dan kebersihan itu memang mahal. Jangan lupa, Taman Nasional yang memiliki gunung, misalnya, juga harus menyediakan dana untuk kondisi darurat jika ada pengunjung atau pendaki yang mengalami kecelakaan. Jadi, biaya keamanan juga tinggi. Yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa biaya-biaya itu digunakan untuk tujuan sebenarnya. Tentu saja ada banyak faktor yang membuat semua itu bisa terlaksana. Dari sisi para Jagawana, tentu saja kesejahteraan dan perlindungan yang baik ; gaji tinggi, beragam asuransi mereka dan keluarganya dan kepastian karier. Di sisi masyarakat jangan lupakan tingkat pendidikan dan latar belakang sosial budaya.      

Ketika saya ceritakan masalah-masalah – terutama sampah, yang sering dihadapi di Taman Nasional kita, si Kepala Taman Nasional yang saya wawancara itu mengangguk-angguk. “Masalah sampah itu mudah,” katanya serius. “Masalah yang lebih sulit adalah kemauan!”

Nah ini dia! Maukah kita? Tentu saja! Bisakah kita! Ya bisa dong! Lha semua elemennya sudah ada kok! Apa sih yang tidak ada di Indonesia? Koruptor yang jadi selebriti aja ada kok!