Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Senin, 24 Oktober 2011

MENCINTAI DAN MENGERTI

Ada perbedaan besar antara mencintai dan mengerti.

Dan, serius, ini penting karena keduanya saling berhubungan dalam sebuah proses yang bisa rumit bisa sederhana. Saya tidak bicara dalam konteks dua manusia ; pria dan wanita. Saya bicara dalam konteks dunia saya ; pendaki gunung dan alam.

Entah berapa belas kali saya mendapat ajakan untuk kegiatan-kegiatan pelestarian alam oleh komunitas-komunitas pencinta alam. Sebuah niat baik. Diejawantahkan dalam bentuk yang baik juga. Namun, sejak lama, saya merasa bahwa seringkali itu semua sia-sia. Tentu saja, sia-sia bukan dalam artian tak berguna sama sekali, tapi sia-sia karena kegiatan itu terlalu naif untuk dilakukan oleh manusia-manusia yang mengklaim sangat dekat dengan alam, mencintainya sampai mati dan seterusnya. Semuanya membuat saya berpikir nakal bahwa jangan-jangan, cinta para pendaki gunung pada alam hanya sebuah birahi yang menuntut pemuasan ; jalan setapak bersih, puncak tanpa sampah dan... selesai! Yang mereka butuhkan adalah alam yang terlihat cantik dan lestari. Agar mudah ereksi.

Ada perbedaan besar antara mencintai dan mengerti.

Gunung, sebagai bentukan alam memang sudah sejak lama menarik perhatian dan keingin-tahuan manusia. Itu yang membawa manusia ke setapak gunung, punggungannya, lalu ke puncaknya. Manusia mendaki gunung, ujar Zen Master Futomaki, bukan untuk mencari pencerahan. Manusia mendaki gunung karena sudah mendapat pencerahan. Dan pencerahan itu seringkali berupa kesadaran sederhana bahwa hidup ini seringkali terlaksanakan maknanya, papar Geoffrey Winthrop Young, dalam kegiatan yang sepertinya tanpa guna. Dan itu acapkali benar. Manusia pendaki gunung selalu mengklaim bahwa mereka menemukan kemanusiaannya kembali di tengah alam liar. Sebuah guna yang bersifat pribadi. Padahal bagi manusia lain, kegunaan itu harus kasat mata. Apa sih guna mendaki gunung? Apa dunia berhenti berputar jika tidak ada pendaki gunung. Kiamat? Hhah... siapa elu!

Kesadaran akan eksistensi memaksa para pendaki gunung - sadar atau tidak - untuk membawa dunianya ke ranah-ranah publik. Agar bisa dikenali. Dimengerti dan pada akhirnya, diakui dan dihormati. Ini sah-sah saja. Memaksa semua manusia untuk mencicipi nikmatnya mendaki gunung, memang tidak mungkin. Namun membuat mereka melihat bahwa kegiatan ini memiliki guna, mungkin bisa memberi peluang agar kegiatan ini tidak lagi dianggap sebagai sebuah kegiatan mubazir. Anda pasti sudah belasan kali mendengar kalimat ini ; ngapain juga mendaki ke puncak, kalau nanti mesti turun lagi? Jangan anggap remeh pertanyaan ini. Ia, pertanyaan ini, sudah ada sejak awal manusia bersikukuh mendaki puncak-puncak dunia.

Maka beragam kegiatan dilakukan untuk menarik perhatian. Ada yang ekstrim. Ada yang justru hura-hura. Bukan berita lagi jika suatu kali Anda menyaksikan ratusan pendaki berangkat bersama-sama untuk melakukan operasi bersih. Jargonnya, entah kenapa, sama saja ; kelestarian alam. Seolah-oleah kelestarian alam hanya sebatas bungkus Supermi, havermouth, kaleng sardin atau bungkus rokok. Dan yang membuat saya makin - maaf, mual, adalah kenyataan bahwa para pendaki ini seringkali akhirnya terjebak dalam kesadaran seperti itu ; kami pendaki gunung, kami mendaki, membawa sampah, lalu kami mendaki lagi dan membersihkannya. Nah, sekarang Anda lihat kan, kami ini mencintai alam!

Astaga!

Okelah! Maafkan kepicikan saya, jika itu yang ada dalam pikiran Anda. Sebab, saya tidak mengatakan semua kegiatan itu omong kosong. Ada manfaat yang ditangguk. Salah satunya adalah memupuk tanggungjawab dan kepekaan sosial. Saya hanya mendendam pada keadaan bahwa kita seringkali menganggap apa yang sudah kita lakukan cukup dan berpuas diri di situ. Saya hanya mengutuk pada kesadaran bahwa kita ini penuntut kebebasan paling berisik di dunia, namun dengan rajin dan metodis membatasi semua tanggungjawab yang lantas lahir dari tiap kata kebebasan yang kita koarkan!

Dulu, ada seorang senior pendaki - termasuk satu dalam daftar pendek pendaki yang paling saya hormati - yang entah mengapa selalu menolak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan seperti ini. Ia selalu mencibir sinis. Dan itu membuat saya heran. Jadi saya putuskan untuk mencari jawaban. Awalnya, semua alasannya sungguh tidak masuk akal. Namun ada sebuah kalimat yang diucapkannya dan hingga kini terpendam dalam nurani saya ; "Ada perbedaan antara mencintai alam dengan cara-cara bodoh dan mengerti bahwa alam membutuhkan kesmpatan untuk memiliki kebebasannya sendiri, agar ia bisa terus hidup. Bisa terus ada!"

Mengerti maksudnya?

Saya baru paham ketika seorang pejuang suku Ayamaru di Kepala Burung, dengan santai melepas seekor cendrawasih yang entah mengapa masuk ke honainya. "Ia bagian dari alam. Dan alam tidak pernah cocok menjadi bagian dari hidup manusia," ujarnya. Saya langsung mengerutkan kening. "Bukankah manusia juga bagian dari alam?" tanya saya. "Ia tertawa. "Sejak kapan?" balasnya dengan nada mengejek. "Sejak mesin-mesin gergaji itu kalian bawa ke pinggiran hutan? Atau sejak rumah-rumah batu kalian dirikan di lembah dan bukit-bukit?"

Bahkan seorang Ayamaru bisa paham dengan jernih korelasi hakiki antara alam dan manusia yang justru baru ditemukan manusia modern belum lama ini. Korelasinya sederhana ; manusia dan alam itu seperti sisi mata uang. Namun karena manusia diberkahi sebuah program maha dahsyat dari Sang Maha Programer, program bernama Akal (Inside), maka manusia memikul kewajiban untuk menjaga agar mata uang itu tidak jatuh ke salah satu sisi. Caranya mudah ; putarkan saja mata uang itu. Keseimbangan terjadi dan hidup pun akan berjalan dengan indah. Namun ketika satu sisi itu mencoba untuk lebih luas, lebih besar, lebih berat dan seterusnya, dari sisi lainnya... keseimbangan hilang. Anda tentu tahu apa yang terjadi seterusnya.

Dan - ini bagian paling menyebalkan - keseimbangan itu telah lama hilang! Sisi manusia di mata uang itu telah jauh lebih besar, lebih luas, lebih berat dari sisi alam. Mata uang itu kini berhenti berputar dan sisi alam berada di bagian tak terlihat. Tertutup, tertekan sisi lainnya - terengah-engah mencari udara untuk tetap hidup.

Bagaimana bisa? Jawabannya juga sederhana ; manusia itu berkembang biak! Dan itulah masalah terbesarnya ; manusia berkembangbiak sementara alam tidak! Jadi, wajar saja jika tidak butuh waktu lama bagi manusia untuk mulai melakukan keahliannya yang paling utama ; merusak. Mungkin awalnya tidak bermaksud begitu. Sebab bagaimanapun, manusia punya cacatan sejarah maha panjang tentang bagaimana mereka hidup berdampingan dengan alam dalam harmonisasi dan keseimbangan yang menentramkan. Namun desakan kebutuhan akhirnya memaksa manusia untuk sedikit demi sedikit melanggar batas keseimbangan itu. Jadi jangan heran jika aktivis pelestaraian alam paling radikal pun bisa kehilangan kata-kata ketika berhadapan langsung dengan manusia yang memang merusak alam untuk sekedar bertahan hidup ; peladang tanpa lahan atau petani garapan. Mereka ini merusak dengan sadar ; saya lapar dan saya butuh sesuatu untuk saya makan! Anda punya makanan? Maukah Anda membaginya dengan saya, istri saya, anak-anak saya?

Tentu saja selalu ada manusia yang melihat kondisi ini dengan kacamata berbeda ; keuntungan pribadi. Dan yang seperti ini memang layak diperangi! Sampai jadi arang kalau perlu! Namun, itu tetap tidak akan menyelesaikan masalah utama ; populasi manusia yang terus membesar. Dengan cepat. Hampir tak tertahankan. Masalah-masalah seperti itu akan selalu ada. Seperti panu yang muncul lalu menyebar ke seluruh tubuh. Masalahnya bukan kulit atau obat! Masalahnya adalah Anda mungkin menggunakan air yang salah untuk mandi, mencuci makanan atau pakaian. Masalahnya adalah Anda tidak bersih!

Jadi masalah kelestarian alam bukanlah masalah sampah atau berapa banyak pohon yang ditebang tiap hari. Percayalah, sampah bisa dihancurkan dan pohon masih bisa tumbuh. Masalah kelestarian alam adalah masalah keengganan kita untuk mengakui kenyataan menyakitkan bahwa eksistensi manusialah penyebab hancurnya alam. Keberadaan dan perkembangan jumlah manusialah masalah intinya. Makin banyak manusia, makin hancurlah alam!

Saya tidak mengatakan bahwa manusia tidak berhak ada atau hidup. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan salah mengambilkan keputusan ketika Ia menurunkan manusia ke dunia. Tapi, saya juga kerap bertanya-tanya ; Tuhan itu kan Maha Pencipta ya? Mengapa sih, Ia tidak menurunkan kita di planet yang bisa tumbuh membesar juga? Mengapa Ia tidak menurunkan kita di planet seperti kata James Lovelock dalam Hipotesis Gaia-nya ; bumi adalah organisme yang hidup - jadi bumi bisa membesar sesuai kebutuhan jumlah penghuninya? Toh, itu soal mudah untukNya!

Namun, tidakkah itu semua juga memberi kita kesadaran bahwa apapun dalam hidup ini ternyata ada batasnya! Mungkinkah itu juga berlaku bagi perkembangan jumlah manusia? Atau kita hanya akan membiarkan semuanya sampai akhirnya jumlah itu terlalu banyak untuk diterima lantas kematian mengerikan membinasakan kita dengan beragam cara ; genocide dan perang untuk memperebutkan sumberdaya yang tersisa? Kemudian apa yang tersisa? Sumberdaya yang juga tidak lagi bisa diperbaiki? Jadi apa untungnya menang? Saya kerap bertanya-tanya...

Sekali-sekali, coba Anda tanyakan pada para pendaki gunung, pencinta alam, sukarelawan penanaman pohon dan apalah namanya, mengapa mereka melakukan semua itu? Jawabannya - panjang atau pendek, pasti dihiasi kata mencintai alam, melindungi alam, melestarikan alam! Tidak ada seorangpun yang mengatakan ; saya menanam dan memunguti sampah karena saya ingin mengerti!

Mengerti maksud saya? Syukurlah! Kini - jika mau - Anda hanya harus belajar mencintai. Dengan benar. Sebab, menurut saya, ada perbedaan besar antara sekedar mencintai dan mengerti mengapa mesti mencintai. Dan itulah yang kelak akan saya katakan jika putri saya akan mencoba mendaki gunung ; Nak, pertama-tama, mendakilah karena kau ingin belajar mengerti dan mencintai Tuhan! Sebab Dialah Sang Maha Alam! Setelah itu... usahakan tidak punya anak terlalu banyak!
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar