Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Rabu, 07 Maret 2012

DI GUNUNG, NAK... TIDAK ADA TOKO MAKANAN KALAU KALIAN LAPAR!


Hari baru saja berganti, 4 Mei 1976, 12.30 dini hari. Suara gemuruh datang di kejauhan. Perempuan itu tidak bisa mengelak. Longsoran salju terlalu cepat dan mendadak. Ia terkubur hidup-hidup. Meski mencoba bertahan, shock membuatnya tak sadarkan diri. Hanya 6 menit, sebelum seorang sherpa menariknya keluar dari timbunan salju yang membekukan. Terguncang hebat, perempuan itu hanya bisa terdiam, menatap langit biru mengatur napas di udara 6.300 meter dari permukaan laut yang tipis. Hal terakhir yang ia ingat sebelum tak sadarkan diri adalah putri kecilnya yang berumur 3 tahun, Noriko, jauh di seberang lautan. “Gunung mengajarkan saya, “ ucapnya kemudian, “Bahwa hidup tidak boleh disia-siakan!”

Dua belas hari kemudian, dunia mencatat namanya ; Junko Tabei, wanita pertama yang berhasil mendaki Mount Everest, gunung tertinggi di dunia. Tanggalnya, 16 Mei 1975. Umurnya saat itu, 35 tahun.  Seperti semua puncak gunung di dunia – tak peduli berapapun tingginya – tidak ada apa-apa di puncak Everest. Tabei bahkan mengaku, ia tidak lantas dilanda kegembiraan. “Saya hanya senang, tidak harus mendaki lagi,” ucapnya polos. Di puncak itu, Tabei memandang ke bawah. Mengingat nama-nama 14 pendaki wanita Jepang yang berangkat bersamanya dan terkubur bersama saat avalanche datang. “Tidak ada seorangnpun yang tewas. Dan itu yang mendorong saya ke puncak!”


Dilahirkan dengan nama belakang Ishibashi, 22 September 1939, Junko bukan anak perempuan yang sangat sehat. Ada masalah kesehatan pada paru-parunya. Ia lemah dan sakit-sakitan. Pada umur 10 tahun, Junko yang bosan diejek, tiba-tiba saja menemukan dunia baru yang mencengangkan saat darmawisata sekolah. Sebuah gunung menyandera pandangannya. Gunung itu, Asahi kemudia didakinya bersama seorang guru dan beberapa temannya. Setelah itu, ia bersikeras mendaki Chausu. “Saat itu, mendaki gunung bukan sebuah pilihan bijak,” paparnya. “Kami baru saja bangkit dari kehancuran dan kami harus lebih khawatir soal apa yang bisa kami makan .”

Tapi Junko tidak menyerah. Ia menyesuaikan diri.

Di bangku kuliah, Junko diam-diam bergabung dengan klub pendaki gunung. Mahasiswa lain mencemoohnya ; menyangka ia bergabung karena ingin mencari jodoh. Junko tidak peduli. Ketika ia berhasil mendaki Fujiyama, seluruh isi kampus tersenyum padanya dengan hormat. Umur 27 tahun ia menikah dengan   Masanobu Tabei, seorang pendaki gunung yang cukup popular di Jepang. Pernikahannya ditentang sang ibu hanya karena Masanobu tidak pernah kuliah. 

Junko kembali menyesuaikan diri. Ia menunjukkan cintanya dengan menjadi istri yang baik seperti adat Jepang. Sang ibu akhirnya menyerah, meski tahu Junko belum menghapus kecintaannya pada gunung dan petualangan.

Bertahun setelah mendaki Everest, Junko Tabei mendatangi Indonesia pada tahun 1992. Wanita mungil ini amat ramah dan rendah hati. Tak berhenti berterima kasih karena sudah diterima dan diizinkan mendaki Cartenz Pyramide. Setelah pendakian itu, ia menjadi Seven Summiter pertama di dunia – wanita pertama yang mendaki tujuh puncak tertinggi di tujuh benua. Menjadi orang ke 36 mendaki Everest dan Seven Summiter wanita pertama membuat Junko amat popular dan dihormati. Lagi-lagi, Junko melakukan penyesuaian meski sebenarnya ia tidak pernah menyukai popularitas dan tanggungjawab yang mengikuti popularitas itu. Setelah ekspedisi Everest, Junko menolak sponsorship. “Sponsorship membuat saya merasa mendaki tidak untuk diri saya sendiri. Membuat saya merasa bekerja untuk perusahaan pemberi dana,” ujarnya.

Kini Tabei aktif mengajarkan pentingnya kelestarian alam dan tetap bersemangat mendaki. Mendorong kaum wanita muda Jepang untuk menggapai impian dan cita-cita mereka. Tapi, betapapun hebat pencapaiannya, di rumah, Junko adalah istri dan ibu. Manasobu, sang suami berujar kalau ia bisa saja menghapus semua impian Junko bertahun-tahun lalu. “Ia akan menurut. Percayalah, ia akan menurut dan menjadi ibu rumah tangga biasa,” ujarnya. “Tapi justru karena ia akan menurut yang membuat saya yakin ; ia harus menggapai impiannya!” Manasobu juga menolak anggapan kalau ia seorang suami yang sangat baik dan pengertian. “Bukan soal itu,” ujarnya. “Ini soal ketulusan pada takdir dan hakikat diri kita.” Ia mengatakan bahwa kehebatan Junko adalah kemampuannya dan kemauannya untuk menyesuaikan di diri di saat yang tepat.  “Setelah membuktikan bahwa ia istri dan ibu yang baik, menjadi kewajiban saya untuk mendorongnya menggapai impiannya! Itu naluriah!”

Sang putri, Noriko, berujar singkat soal ibunya, “Sebenarnya, ia bukan pendaki gunung. Ia seorang ibu!” Bagaimana tidak. Pertama kali mengajak Noriko dan adik laki-lakinya, Shinya, mendaki gunung, yang pertama kali diucapkan Junko adalah, “Di gunung, nak… tidak ada toko makanan kalau kalian lapar!”  Lalu? “Ia memasak saat waktu makan dan menyuruh kami menghabiskan makanan kami  tanpa sisa,” ujar Noriko sambil tertawa.  “Kami katakan ; baik ibu! Tidak ada toko makanan kalau bekal kita habis!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar