Sumpah! Saya pernah bermaksud membuang GPS saya sejak 1,56
juta tahun yang lalu!
Sebutlah saya alay lebay, karena mungkin benar. Tapi,
beneran, saya sudah pernah anti Global Positioning System. Alasannya sepele ;
GPS itu teknologi canggih. Sementara, otak saya tidak terlalu canggih. Namun
alasan sebenarnya adalah karena makin canggih sebuah teknologi – entah kenapa,
koreksi saya jika salah – teknologi itu makin ringkih (Jawa ; lemah – Red.).
Atau – ini lebih berbahaya – membuat kita makin ringkih!
Ini pengalaman nyata.
Di sebuah gunung, dengan noraknya (padahal tidak ada orang
selain saya dan climbing partner ) saya mengeluarkan GPS baru, memperhatikan
layar LCD-nya, memencet-mencet tombol dan… saya langsung kebelet buang air
besar! Climbing partner saya langsung mengerutkan kening. Kenapa, tanyanya.
Makderabit, jawab saya sedikit panik. Kita melenceng 4 derajat!
Climbing partner saya
langsung mesem. Norak lu, katanya santai. Tangannya meraih GPS baru milik saya
itu. Matanya langsung meneliti layar LCD, membiarkan saya berdiri di sampingnya
dengan harap-harap cemas. Tiga koma empat detik kemudian ia kembali menatap saya ; Ini
bukan peta Papandayan dodol, ujarnya. Ini peta Jakarta! Melenceng 4 derajat
dari mana? Dari Hongkong?
Oke, saya koreksi kalimat dua alinea di atas ; itu
pengalaman nyata soal gobloknya saya. Nah, di bawah ini, pengalaman nyata soal
teknologi yang makin canggih makin ringkih sekaligus membuat manusia
penggunanya ikut ringkih.
Setelah paham kalau GPS butuh input data lokasi, saya makin norak. Semua data lokasi
yang pernah saya kunjungi, saya masukan. Siapa tahu saya membutuhkan suatu
hari, pikir saya. Walhasil, GPS saya mungkin GPS paling gaul sekaligus paling
apes, karena ke WC pun tak jarang alat canggih itu saya bawa. Pada beberapa
perjalanan di alam bebas, GPS saya bekerja dengan baik. Tentu saja – sebagai bekas
gaptekers – saya sangat sumringah (Jawa ; sedikit alay – Red.)
Sampai suatu saat, di sebuah sungai setelah 8 jam berarung
jeram, malapetaka itu terjadi ; GPS saya tidak bekerja! Padahal, saya sudah
membungkusnya dengan 3 lapis plastik agar tidak basah. Baterenya pun menyala
sempurna. Saya bahkan membawa cadangannya. Tapi, di layar LCD yang terlihat
hanya tulisan bodoh berbunyi ; Out of coverage area!
Lha, ujar saya dengan mimik bodoh (lagi) pada teman-teman
seperahu, apa gunanya alat ini kalau ia tidak bisa mencakup semua titik di
dunia? Apa kerjanya satelit-satelit di atas sana? Apa? Wedus gembel! Keterangan
dari beberapa teman seperahu yang memang sudah lebih terbiasa menggunakan alat
ini tidak memuaskan saya ; GPS mungkin saja gagal menerima sinyal karena banyak sebab dan sebagainya. Sebagai sebuah teknologi canggih, GPS bergantung pada teknologi lain yang tidak kalah canggihnya. Jika satu sistem gagal, sistem lain biasanya akan ikut gagal. Begitulah kelemahan sophisticated technology, ujar mereka panjang lebar. Sampai akhirnya – mungkin karena sebal mendengar
omelan saya – sang kapten perahu menyodorkan peta sungai. Coba kang, ujarnya
sembari menahan senyum, cek saja posisi kita di peta ini.
Dan terjadilah malapetaka kedua!
Saya terbengong-bengong menatap peta sungai yang tiba-tiba saja
terasa asing! Padahal baru 3 tahun semenjak saya menggunakan GPS sialan itu!
Tiga tahun! Apa sih yang bisa terjadi selama 3 tahun? Anak kecil saja belum tentu
bisa cebok sendiri saat umur 3 tahun!
Tapi itulah kenyataannya! Tiba-tiba saja saya merasa
tersesat sesesat-sesatnya. Tiba-tiba saja, saya kangen setengah mati pada
kompas prisma yang sudah saya miliki lebih dari 20 tahun. Mendadak saya merasa
berdosa ; saya sudah selingkuh! Sementara kompas butut itu selalu setia
menemani saya kemanapun. Tidak pernah ngadat apalagi complain meskipun kerap
ikut berbasah-basah dan berlumpur-lumpur. Oooh… ayam, eh… kompasku!
Manusia itu memang ajaib ya ; mahluk yang mudah terbius dan
tergoda! Dan itu bukan hanya soal GPS vs. kompas lho! Soal lain yang lebih seram pun begitu ;
korupsi, WIL/PIL sampai nepotisme yang menyebalkan itu. Saya mengaku bukan
manusia yang amat sangat setia pada sesuatu. Buat saya, kesetiaan itu relatif,
karena pertanyaan soal kesetiaan itu sebenarnya bukan pada siapa. Tapi pada
apa. Itu sebabnya, saya memilih setia pada Tuhan, bukan pada manusia. Saya
memutuskan setia pada hukum-hukumnya. Walaupun tidak amat taat, saya selalu
mencoba untuk menarik batasan. Sebab saya percaya, batasan itulah yang
membedakan kemanusiaan sesorang. Nah, soal hukum Tuhan itu, salah satunya
adalah perubahan. Percayalah, hidup itu intinya sebuah perubahan yang simultan.
Anda menolaknya, kemungkinan Anda akan kalah. Sialnya, perubahan itulah yang
juga membuat saya memutuskan untuk menyelingkuhi kompas saya dan bermesraan
dengan si GPS.
Saya tidak ingin berbicara soal benar salah. Sebab pada
akhirnya, kesalahan terbesar bukan pada alat atau teknologi. Tapi pada manusianya.
Kesalahan terbesar saya adalah tidak merencakan perubahan itu dengan bijaksana
dan melakukannya dengan membabi buta. Dan seperti semua hal yang dilakukan
dengan membabibuta - atau membadakpicek, menggajahjuling dan seterusnya - saya justru bertambah ringkih. Bukan bertambah kuat!
Padahal, bahkan Tuhan memberi kesempatan manusia untuk
berubah selama hidupnya! Agar menjadi mahluk yang lebih baik. Caranya sebenarnya sederhana ; berlaku jujur. Saya tidak memberi
kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan perubahan itu sesuai kebutuhan.
Saya dibutakan oleh keinginan untuk menjadi sama dengan para pegiat alam bebas lain yang makin hari makin canggih. Padahal, sejak 3,8 juta tahun lalu, saya sudah
percaya bahwa berbeda itu indah luar biasa.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya dan climbing
partner saya kembali mendaki gunung. Kali ini, saya memasukan GPS dan kompas
prisma saya ke dalam kantung yang sama. When sophisticated technology failed, the
old knowledge will take control, ujar saya dalam hati sembari cengar-cengir. Selama
pendakian tidak terjadi sesuatu. Kami mencapai puncak dan bersiap mengabadikan
sunrise yang luar biasa indahnya. Ayo cepat, teriak climbing partner saya tak
sabar. Ia memang bersedia menemani saya setelah saya iming-imingi berfoto
dengan latar belakang sunrise. Lumayan buat profile picture Facebook, rayu saya
sebelumnya. Agar lebih sulit ditolak saya lancarkan rayuan maut : kalau perlu,
nanti gue cetakin 20R buat elu pajang di kamar. Anehnya, rayuan itu masih saja
ampuh.
Setelah atur sana atur sini, saya mengarahkan Nikon FM2 saya.
Wajah saya berubah pucat. Saya sengaja membawa kamera analog itu karena sudah
cukup lama tidak menggunakannya. Padahal - seperti kompas saya - kamera itu banyak jasanya. Termasuk merekam
beberapa kejadian penting seperti Kerusuhan Jakarta 1998, beberapa bencana
alam nasional dan sebagainya. Melihat wajah saya pucat pasi, kening climbing
partner saya berkerut. Dan kerutan itu tidak hilang selama 24 jam kemudian –
selama perjalanan turun dan pulang - meskipun saya berusaha setengah mati
meminta maaf ; saya lupa membawa film!
Maklum, sudah terbiasa memakai kamera digital! :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar