Makara ; mahluk penjaga gerbang . Biasanya ditemukan dalam pahatan pintu-pintu candi. Dan percayakah Anda bahwa setiap manusia memiliki 'penjaga gerbang'nya sendiri? Jika Anda bertanya soal kalimat itu, Anda harus curiga kemana nurani Anda pergi! Sebab, itulah, sang nurani, penjaga gerbang Anda ; batas antara dua sisi berbeda yang ada dalam setiap manusia - jiwa dan raganya. Itu pula sebabnya, kata 'Bacalah' - kata pertama dalam ayat pertama, surat pertama pada kitab suci saya tidak selalu berarti begitu. Jadi mulailah mencari arti yang sebenarnya. Walau terdengar absurd...

Jumat, 27 Januari 2012

GPS? Fuck!


Sumpah! Saya pernah bermaksud membuang GPS saya sejak 1,56 juta tahun yang lalu!

Sebutlah saya alay lebay, karena mungkin benar. Tapi, beneran, saya sudah pernah anti Global Positioning System. Alasannya sepele ; GPS itu teknologi canggih. Sementara, otak saya tidak terlalu canggih. Namun alasan sebenarnya adalah karena makin canggih sebuah teknologi – entah kenapa, koreksi saya jika salah – teknologi itu makin ringkih (Jawa ; lemah – Red.). Atau – ini lebih berbahaya – membuat kita makin ringkih!

Ini pengalaman nyata.

Di sebuah gunung, dengan noraknya (padahal tidak ada orang selain saya dan climbing partner ) saya mengeluarkan GPS baru, memperhatikan layar LCD-nya, memencet-mencet tombol dan… saya langsung kebelet buang air besar! Climbing partner saya langsung mengerutkan kening. Kenapa, tanyanya. Makderabit, jawab saya sedikit panik. Kita melenceng 4 derajat!

Climbing partner saya langsung mesem. Norak lu, katanya santai. Tangannya meraih GPS baru milik saya itu. Matanya langsung meneliti layar LCD, membiarkan saya berdiri di sampingnya dengan harap-harap cemas. Tiga koma empat detik kemudian ia kembali menatap saya ; Ini bukan peta Papandayan dodol, ujarnya. Ini peta Jakarta! Melenceng 4 derajat dari mana? Dari Hongkong?

Oke, saya koreksi kalimat dua alinea di atas ; itu pengalaman nyata soal gobloknya saya. Nah, di bawah ini, pengalaman nyata soal teknologi yang makin canggih makin ringkih sekaligus membuat manusia penggunanya ikut ringkih.

Setelah paham kalau GPS butuh input data  lokasi, saya makin norak. Semua data lokasi yang pernah saya kunjungi, saya masukan. Siapa tahu saya membutuhkan suatu hari, pikir saya. Walhasil, GPS saya mungkin GPS paling gaul sekaligus paling apes, karena ke WC pun tak jarang alat canggih itu saya bawa. Pada beberapa perjalanan di alam bebas, GPS saya bekerja dengan baik. Tentu saja – sebagai bekas gaptekers – saya sangat sumringah (Jawa ; sedikit alay – Red.)

Sampai suatu saat, di sebuah sungai setelah 8 jam berarung jeram, malapetaka itu terjadi ; GPS saya tidak bekerja! Padahal, saya sudah membungkusnya dengan 3 lapis plastik agar tidak basah. Baterenya pun menyala sempurna. Saya bahkan membawa cadangannya. Tapi, di layar LCD yang terlihat hanya tulisan bodoh berbunyi ; Out of coverage area!

Lha, ujar saya dengan mimik bodoh (lagi) pada teman-teman seperahu, apa gunanya alat ini kalau ia tidak bisa mencakup semua titik di dunia? Apa kerjanya satelit-satelit di atas sana? Apa? Wedus gembel! Keterangan dari beberapa teman seperahu yang memang sudah lebih terbiasa menggunakan alat ini tidak memuaskan saya ; GPS mungkin saja gagal menerima sinyal karena banyak sebab dan sebagainya. Sebagai sebuah teknologi canggih, GPS bergantung pada teknologi lain yang tidak kalah canggihnya. Jika satu sistem gagal, sistem lain biasanya akan ikut gagal. Begitulah kelemahan sophisticated technology, ujar mereka panjang lebar. Sampai akhirnya – mungkin karena sebal mendengar omelan saya – sang kapten perahu menyodorkan peta sungai. Coba kang, ujarnya sembari menahan senyum, cek saja posisi kita di peta ini.

Dan terjadilah malapetaka kedua!

Saya terbengong-bengong menatap peta sungai yang tiba-tiba saja terasa asing! Padahal baru 3 tahun semenjak saya menggunakan GPS sialan itu! Tiga tahun! Apa sih yang bisa terjadi selama 3 tahun? Anak kecil saja belum tentu bisa cebok sendiri saat umur 3 tahun!

Tapi itulah kenyataannya! Tiba-tiba saja saya merasa tersesat sesesat-sesatnya. Tiba-tiba saja, saya kangen setengah mati pada kompas prisma yang sudah saya miliki lebih dari 20 tahun. Mendadak saya merasa berdosa ; saya sudah selingkuh! Sementara kompas butut itu selalu setia menemani saya kemanapun. Tidak pernah ngadat apalagi complain meskipun kerap ikut berbasah-basah dan berlumpur-lumpur. Oooh… ayam, eh… kompasku!

Manusia itu memang ajaib ya ; mahluk yang mudah terbius dan tergoda! Dan itu bukan hanya soal GPS vs. kompas  lho! Soal lain yang lebih seram pun begitu ; korupsi, WIL/PIL sampai nepotisme yang menyebalkan itu. Saya mengaku bukan manusia yang amat sangat setia pada sesuatu. Buat saya, kesetiaan itu relatif, karena pertanyaan soal kesetiaan itu sebenarnya bukan pada siapa. Tapi pada apa. Itu sebabnya, saya memilih setia pada Tuhan, bukan pada manusia. Saya memutuskan setia pada hukum-hukumnya. Walaupun tidak amat taat, saya selalu mencoba untuk menarik batasan. Sebab saya percaya, batasan itulah yang membedakan kemanusiaan sesorang. Nah, soal hukum Tuhan itu, salah satunya adalah perubahan. Percayalah, hidup itu intinya sebuah perubahan yang simultan. Anda menolaknya, kemungkinan Anda akan kalah. Sialnya, perubahan itulah yang juga membuat saya memutuskan untuk menyelingkuhi kompas saya dan bermesraan dengan si GPS.  

Saya tidak ingin berbicara soal benar salah. Sebab pada akhirnya, kesalahan terbesar bukan pada alat atau teknologi. Tapi pada manusianya. Kesalahan terbesar saya adalah tidak merencakan perubahan itu dengan bijaksana dan melakukannya dengan membabi buta. Dan seperti semua hal yang dilakukan dengan membabibuta - atau membadakpicek, menggajahjuling dan seterusnya - saya justru bertambah ringkih. Bukan bertambah kuat!

Padahal, bahkan Tuhan memberi kesempatan manusia untuk berubah selama hidupnya! Agar menjadi mahluk yang lebih baik. Caranya sebenarnya sederhana ; berlaku jujur. Saya tidak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan perubahan itu sesuai kebutuhan. Saya dibutakan oleh keinginan untuk menjadi sama dengan para pegiat alam bebas lain yang makin hari makin canggih. Padahal, sejak 3,8 juta tahun lalu, saya sudah percaya bahwa berbeda itu indah luar biasa.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya dan climbing partner saya kembali mendaki gunung. Kali ini, saya memasukan GPS dan kompas prisma saya ke dalam kantung yang sama. When sophisticated technology failed, the old knowledge will take control, ujar saya dalam hati sembari cengar-cengir. Selama pendakian tidak terjadi sesuatu. Kami mencapai puncak dan bersiap mengabadikan sunrise yang luar biasa indahnya. Ayo cepat, teriak climbing partner saya tak sabar. Ia memang bersedia menemani saya setelah saya iming-imingi berfoto dengan latar belakang sunrise. Lumayan buat profile picture Facebook, rayu saya sebelumnya. Agar lebih sulit ditolak saya lancarkan rayuan maut : kalau perlu, nanti gue cetakin 20R buat elu pajang di kamar. Anehnya, rayuan itu masih saja ampuh.

Setelah atur sana atur sini, saya mengarahkan Nikon FM2 saya. Wajah saya berubah pucat. Saya sengaja membawa kamera analog itu karena sudah cukup lama tidak menggunakannya. Padahal - seperti kompas saya - kamera itu banyak jasanya. Termasuk merekam beberapa kejadian penting seperti Kerusuhan Jakarta 1998, beberapa bencana alam nasional dan sebagainya. Melihat wajah saya pucat pasi, kening climbing partner saya berkerut. Dan kerutan itu tidak hilang selama 24 jam kemudian – selama perjalanan turun dan pulang - meskipun saya berusaha setengah mati meminta maaf ; saya lupa membawa film!

Maklum, sudah terbiasa memakai kamera digital! :p





Tidak ada komentar:

Posting Komentar